Keberadaan soft power menjadi penting karena menjadi intangible asset bagi pemerintah maupun merek (brand), dan pada akhirnya meningkatkan PDB.
SEMARANG, PRINDONESIA.CO – Ketika dunia sudah saling terhubung, kekuatan untuk memengaruhi pikiran dan hati pun mencapai dimensi baru, tidak lagi menggunakan hard power melainkan soft power. Isu inilah yang diangkat dalam diskusi panel sesi pertama Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2023 yang diselenggarakan oleh PERHUMAS di Semarang, Sabtu (2/9/2023).
Secara definisi, kata Sutan Banuara, Managing Director Brand Finance Indonesia, saat menjadi pembicara pada panel diskusi bertema “The Art of Influence: Strengthening Indonesia's Soft Power for Global Impact” itu, soft power adalah kemampuan untuk memengaruhi pihak lain.
Sebenarnya, ia melanjutkan, soft power bukan hal baru. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Joseph Nye, profesor dari Harvard University, pada tahun ‘80-an. Keberadaan soft power menjadi penting karena menjadi intangible asset bagi pemerintah maupun merek (brand).
Menurut peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia ini, soft power ditentukan oleh berbagai faktor. Di antaranya, peraturan bisnis yang ramah terhadap investor, infrastruktur, warisan budaya, kondisi politik di dalam negeri, kepastian hukum, kebijakan, media, hingga pendidikan.
Sementara itu, salah satu pemangku kepentingan yang sangat berpengaruh untuk meningkatkan daya tarik atau soft power adalah pemerintah dan pegawai pemerintah (aparatur sipil negara/ASN).
Alasannya, kata pria yang pernah menjabat sebagai EVP Commercial untuk Merpati Nusantara Airlines ini, pemerintah adalah penentu kebijakan, arah pembangunan, hingga hubungan politik. Sedangkan ASN berkaitan erat dengan pelayanan. “Kemudahan dalam memberikan pelayanan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi Indonesia di mata visitor dan investor,” ujarnya.
Memengaruhi PDB
Demikian vitalnya keberadaan soft power, Brand Finance Indonesia pun membuat pengukuran yang dikenal dengan nama Soft Power Index. Pengukuran ini didasari dari penemuan Prof. Joseph Nye, namun dengan penambahan variabel.
“Kami menambah beberapa variabel yang dinilai akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan daya tarik atau nilai soft power,” ujarnya. Variabel yang dimaksud adalah familiarity, reputation, influence, media and communication, people and value, and education.
Melalui indeks ini, Brand Finance Indonesia berharap dapat memberikan insight bagi negara dalam mengembangkan soft power. Apalagi, kata Sutan, soft power berkaitan erat dengan image dan reputasi suatu negara di mata dunia, yang ujung-ujungnya berdampak pada meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB).
Makin Dicintai
Salah satu korporasi yang bisa ditiru dalam meningkatkan soft power adalah PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO). Menurut Sutan, aksi mereka yang aktif mengadakan aktivitas tanggung jawab sosial dan membuat kompilasi iklan yang menggugah kecintaan masyarakat terhadap budaya tanah air sekaligus mempromosikan pariwisata Indonesia itu merupakan bagian dari upaya korporasi untuk memberikan kesan positif kepada publik.
Sementara bagi CEO Sido Muncul Irwan Hidayat yang didapuk sebagai pembicara dalam diskusi pagi itu, langkah tersebut sebenarnya dilakukan agar perusahaan, merek, dan produk-produk mereka dicintai oleh konsumennya.
Turut hadir Kepala Pusat Penguatan dan Pemberdayaan Bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Iwa Lukmana dan CEO PT Marimas Putera Kencana Harjanto Kusuma Halim yang juga menjadi pembicara pada panel diskusi tersebut. (rtn)