Stigma Bikin Literasi AI Belum Optimal
PRINDONESIA.CO | Selasa, 25/02/2025
Stigma Bikin Literasi AI Belum Optimal
Principal of IADERN Tuhu Nugraha di kelas workshop Satu Dekade PRIA 2025 yang berlangsung di Bandung, Senin (24/2/2025).
PR INDONESIA

BANDUNG, PRINDONESIA.CO – Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang pesat, nyatanya belum sejalan dengan tingkat adopsi penggunaannya di bidang kehumasan. Setidaknya begitu kesimpulan yang didapat Principal of Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN) Tuhu Nugraha, ketika membuka sesi workshop Satu Dekade PR INDONESIA Awards (PRIA) 2025, Selasa (25/2/2025) di Graha Pos Indonesia, Bandung.

Mengawali kelas bertajuk AI-Powered PR: Generative AI dan Otomatisasi Sebagai Game Changer, Tuhu mengajukan pertanyaan sederhana kepada para peserta yang berasal dari berbagai perusahaan. “Apakah penggunaan AI sudah terbuka di perusahaan, terutama di bidang kehumasan?” ujarnya yang kemudian disambut jawaban “tidak” dari hampir seluruh peserta.

Sejumlah peserta mengaku, ada anggapan bahwa penggunaan AI oleh humas mengisyaratkan lemahnya kompetensi. Dalam konteks pemanfaatan AI untuk kebutuhan penulisan siaran pers, misalnya, mereka sangsi dianggap tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dan pemalas. "Inilah cara kerja stigma. Tidak hanya di Indonesia, hampir di seluruh negara masih ada stigma penggunaan AI seperti itu," ucap Tuhu menanggapi.

Lebih jauh, terang Tuhu, stigma tersebut mengakibatkan literasi tentang AI di Indonesia yang mencakup pengetahuan dasar, pengenalan platform berbasis kecerdasan buatan, tujuan dan cara penggunaan, etika, hingga dampak, sulit mencapai optimal. Namun, ia optimistis stigma tersebut akan berangsung hilang, mengingat AI saat ini sudah mulai menjadi kebutuhan. "Oleh karena itu, etika dan standar pemakaian AI yang perlu kita pelajari saat ini," ajaknya.

Silang Pakai “Generative AI” dan “Predictive AI”

Tuhu menjelaskan, saat ini ada dua jenis AI berdasarkan fungsinya. Pertama, generative  AI  yang dapat dimanfaatkan untuk membuat konten baru baik teks, gambar, musik, dan video. Sejumlah platform yang populer di antaranya ChatGPT, Gemini, Midjourney, dan Dreamina. Kedua, predective AI yang berfungsi untuk menganalisis data, pengenalan pola, dan pengambilan keputusan. Beberapa di antara platform yang populer adalah Jukebox, Suno, RunwayML, Invideo, dan Sora.

Menurut Tuhu, penggunaan kedua jenis AI tersebut secara berbarengan oleh praktisi humas, bisa mengurangi bias yang dihasilkan AI. "Ingat, tiap platform AI mempunyai biasnya masing-masing. Paling baik, memang rekomendasi AI A dicek dengan AI B dan seterusnya," jelas alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Pada akhirnya, tegasnya, literasi AI yang disertai pelatihan diperlukan agar penggunanya mampu menyadari risiko bias, hingga kesalahan pemrosesan bahasa dan konteks. Tak kalah penting, juga untuk memahami bagaimana cara memanfaatkan AI dengan optimal, tidak berlebihan, dan sesuai etika serta aturan yang disepakati. (ARF)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI