Public relations (PR) lebih dulu berkembang di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Tahun ’80-an, setelah mendapatkan pendidikan dari beberapa negara tersebut, praktisi PR perempuan senior mulai memperkenalkan PR ke Indonesia.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Public relations (PR) mulai berkembang sejak Ivy Ledbetter Lee berhasil mengatasi krisis pemogokan massal yang melumpuhkan kegiatan industri pertambangan batu bara di Amerika Serikat tahun 1906. Ketika itu ia bekerja sama dengan pers. Keberhasilannya itu membuat Lee mendapat julukan Bapak Public Relations (The Father of Public Relations).
Sementara di Indonesia, dilansir dari buku PERHUMAS berjudul Inspirasi Indonesia untuk Maju Bersama: Sejarah Kehumasan Indonesia dan Semangat Menuju Profesional, sejarah humas di tanah air terdiri dari lima periode. Antara lain, periode persiapan menuju pendirian negara Indonesia (1900-1942), era pendudukan Jepang (1942-1945), kepemimpinan Soekarno (1945-1966), Orde Baru (1966-1988), dan era Reformasi dari kepemimpinan BJ Habibie (1998 - hingga saat ini).
Masih dari buku tersebut, mengutip pernyataan dari salah satu pendiri PERHUMAS sekaligus pendiri agensi PR pertama, Inscore Zecha, Prof. M. Alwi Dahlan, PR baru leluasa menjalankan aktivitasnya di era Orde Baru. Di era tersebut, tepatnya 15 Desember 1972, organisasi PR tertua di Indonesia, PERHUMAS, lahir.
Keinginan mendirikan lembaga profesi yang fokus pada kehumasan ini awalnya berangkat dari Humas Pertamina Marah Joenoes setelah menghadiri World Public Relations Congress yang keenam di Jenewa, Swiss, pada tahun 1972. Ia bercita-cita membuat organisasi yang merupakan lembaga profesi fokus pada kehumasan. Ia menggagas berdirinya PERHUMAS bersama 20 orang lainnya yang merupakan humas dari lintas sektor seperti migas, pemerintah, korporasi, hotel, hingga agensi.