Selain berdampak positif, transformasi digital di industri media juga memiliki pengaruh negatif. Terutama dalam mengikis fungsi kontrol sosial dan jurnalisme berkualitas. Simak pernyataan Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro berikut ini.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Untuk menyikapi disrupsi digital, banyak pelaku media yang melakukan transformasi digital. Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro saat menjadi pembicara di webinar Studi Universitas Padjadjaran (UNPAD) bertajuk “Jurnalisme Berkualitas di Era Transformasi Digital, Rekomendasi Peningkatan Persaingan Jurnalisme di Era Digital”, Senin (8/5/2023), mengatakan, upaya itu dilakukan agar media tidak tergerus disrupsi.
Dewan Pers memperkirakan hingga tahun 2023 jumlah media daring yang ada di Indonesia terbilang fantastis mencapai 43 ribu. Dari jumlah tersebut, baru 1.728 media yang terverifikasi oleh Dewan Pers.
Menurut pria yang karib disapa Sapto, transformasi digital memiliki sejumlah hal positif, tapi juga negatif. Hal positif antara lain memudahkan pekerjaan wartawan dalam mencari informasi dan fakta, membuka potensi untuk mengembangkan jurnalisme cetak ke dalam bentuk digital seperti yang dilakukan Kompas yang membuat kemasan digital, Kompas.id.
“Teknologi digital atau internet memungkinkan wartawan mengembangkan kemampuan jurnalistiknya dalam mengakses sumber pengetahuan buku dan jurnal elektronik,” kata pria yang menjabat Ketua Komisi Kemitraan dan Infrastruktur Organisasi Dewan Pers periode 2022-2025.
Namun, negatifnya, adanya algoritma yang mengikis karya-karya jurnalistik yang berkualitas. “Saat ini media dituntut mengikuti algoritma platform global seperti Google untuk dapat mendapatkan iklan programatik dan atensi publik,” katanya. “Mereka lebih memilih membuat konten dengan menyesuaikan kata kunci dan membuat judul berdasarkan algoritma ketimbang membuat karya jurnalistik yang berkualitas,” ujar Sapto.
Pria yang sudah malang melintang 30 tahun di dunia jurnalistik itu melanjutkan, penilaian konten sekarang hanya berdasarkan page views, kata kunci, dan search engine optimization (SEO) demi mendapat urutan teratas di Google. Jadi, bukannya menyenangkan pembaca, tetapi menyenangkan diri sendiri supaya seolah-olah bagus di depan pembaca karena ada di urutan paling atas mesin pencari.
Fenomena itu membuat fungsi media sebagai kontrol sosial kalah tajam dari jurnalisme warga (citizen journalism). Sapto memberi contoh kasus jalan rusak di Lampung dan kasus Mario Dendy yang justru lebih dulu diangkat oleh citizen journalism. (jar)