Pegawai Gemar “Flexing”, PR Harus Apa?
PRINDONESIA.CO | Jumat, 12/05/2023 | 1.285
Pegawai Gemar “Flexing”, PR Harus Apa?
Aktivitas flexing di media sosial mempertaruhkan Reputasi.
www.freepik.com

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Belakangan ini banyak organisasi mengalami krisis yang awalnya bersumber dari media sosial, lalu menjadi viral. Contoh, kritik guru honorer terkait pungli di Pangandaran, kritik TikToker Bima soal jalan rusak di Lampung, sampai kasus anak pejabat Kemenkeu pamer harta di Instagram.

Dalam perbincangan Fardila Astari, Head of Program and Communications Indonesian Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF), bersama Asmono Wikan, CEO PR INDONESIA, dalam program MAW TALK bertajuk “Lembaga Dilanda Krisis: Bagaimana PR Harus Berbuat?”, Sabtu (15/4/2023), ia mengatakan, informasi yang masuk ke ranah digital memang mudah menyebar dengan cepat. Hal ini menyebabkan timbulnya efek bola salju yang berdampak terhadap organisasi.

“Media sosial ini memiliki karakter tidak bisa dikontrol. Semua informasi bercampur menjadi satu,” ujar perempuan peraih gelar Master Manajemen Komunikasi Universitas Indonesia tersebut. “Belum lagi komentar-komentar dari warganet yang makin suasana makin keruh,” imbuhnya.  

Internal Komunikasi

Lantas, bagaimana organisasi harus menyikapi kondisi ini? Fardila menekankan agar organisasi membuat aturan komunikasi internal. Apalagi saat ini setiap orang berpotensi melahirkan krisis, khususnya para pejabat di lingkungan pemerintahan.

Untuk itu, kata perempuan peraih sertifikasi AMEC tersebut, organisasi harus memiliki aturan yang baku untuk mengatur komunikasi baik personal kepada publik maupun keluarga kepada publik. Khususnya, aturan soal penggunaan media sosial. Bahwa ada hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. “Setiap orang harus mengontrol media sosialnya supaya tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri dan organisasi,” katanya.

Contoh paling relevan adalah aksi pamer kekayaan atau flexing yang dilakukan oleh internal pegawai di media sosial. Aksi ini tentu saja dilarang untuk menghindari kecemburuan sosial yang berujung menimbulkan persepsi buruk di masyarakat.

Fardila berpendapat setiap pegawai mesti menyadari brand yang melekat pada dirinya, baik itu organisasi, keluarga, sampai institusi pendidikan. Jangan sampai flexing di media sosial berdampak melukai reputasi organisasi yang sudah dibangun lama. (jar)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI