Permintaan maaf menjadi komponen kunci untuk mengurangi dampak krisis. Langkah tersebut sekaligus merupakan bagian dari upaya organisasi untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik, seperti yang dilakukan Pertamina ketika menghadapi krisis kebakaran Depo Pertamina Plumpang.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Lagi-lagi kebakaran. Mungkin ini judul yang tepat untuk menggambarkan musibah kebakaran yang terjadi di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta, Jumat (3/3/2023) malam.
Hingga berita ini diturunkan, dikutip dari megapolitan.kompas.com, peristiwa itu telah menewaskan sedikitnya 19 orang meninggal dunia, 49 orang luka-luka, dan menghanguskan ratusan rumah.
Berdasarkan informasi yang dirangkum oleh kumparan.com, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sudah ada tujuh kebakaran depo dan kilang minyak Pertamina, termasuk salah satunya Depo Pertamina Plumpang di tahun 2023. Kebakaran di Plumpang sendiri bukan untuk kali pertama. Peristiwa serupa pernah terjadi 18 Januari 2009.
Agar dampak krisis tidak semakin meluas, PT Pertamina (Persero) segera bertindak cepat. Berikut uraiannya:
Jika merujuk dari artikel yang ditulis Kyle Scott, Wakil Rektor Lone Star College, di laman Forbes yang diunggah pada tanggal 26 April 2021, langkah yang dilakukan oleh Pertamina ini sebenarnya sejalan dengan tahapan permintaan maaf yang efektif.
Scott merangkum setidaknya ada empat tahapan permintaan maaf. Pertama, menganalisis kesalahan. Alasannya, organisasi akan sulit menyampaikan maaf apabila tidak mengetahui penyebab di balik kesalahan atau kekecewaan orang lain terhadap organisasi.
Kedua, mengakui kesalahan. Poin dari permintaan maaf adalah untuk mengakui kesalahan dan dampak krisis terhadap korban atau pihak yang dirugikan. Ketiga, menunjukkan empati.
Keempat, menyampaikan rencana aksi korektif. Permintaan maaf menjadi lebih baik jika diikuti dengan tindakan korektif dan memastikan hal serupa tidak akan terjadi lagi.
Scott melanjutkan, permintaan maaf adalah komponen kunci untuk mengurangi dampak krisis. Langkah tersebut juga merupakan upaya dari organisasi untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik.
Pernyataan Scott didukung oleh survei yang dilakukan oleh SproutSocial, perusahaan agensi digital asal Amerika Serikat. Hasilnya, 89% responden sependapat organisasi dapat memperoleh kembali kepercayaan mereka jika mengakui kesalahan. Selain, transparan mengenai langkah-langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Nah, apakah berbagai upaya yang sudah dilakukan tadi dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap Pertamina? Kita lihat saja nanti. Yang pasti, masyarakat menunggu Pertamina menepati janji dan memastikan kejadian serupa tidak berulang. (jar)