Ketika berhadapan dengan krisis di media sosial, kecepatan public relations (PR) dalam merespons menjadi kunci utama. Mengapa?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Di balik kemudahan yang ditawarkan, media sosial ternyata memberikan dampak yang mesti diwaspadai oleh praktisi public relations (PR). Dampak yang dimaksud adalah kemungkinan terjadinya krisis.
Potensi krisis di media sosial dapat muncul kapan saja. Mulai dari komentar atau umpan balik (feedback) yang negatif dari warganet, hingga unggahan viral yang berpotensi mengancam reputasi perusahaan.
Dalam buku yang berjudul Crisis, Issues, and Reputation Management (2014), Andrew Griffin memberikan pendekatan yang komprehensif mengenai cara mengelola situasi yang penuh dengan risiko dan berubah cepat menjadi krisis. Dalam situasi itu, kata Griffin, tantangan pertama yang harus dihadapi praktisi PR adalah kecepatan merespons.
Sebab, berdasarkan buku The Handbook Of Crisis Communication (2012) yang ditulis oleh Coombs dan Holladay, isu yang tidak direspons dengan cepat akan berpotensi mengancam reputasi perusahaan.
Menurut Ricardo Indra, General Manager Program Management Office – Communication & Supporting PT Telkomsel, di Jakarta, Sabtu (25/4/2020), seperti yang dikutip dari laman graduate.binus.ac.id, kecepatan dalam merespons itu menunjukkan perusahaan yang sedang berhadapan dengan krisis memiliki keterbukaan informasi. Respons yang cepat dan tepat juga akan berdampak meningkatkan kepercayaan publik.
Namun, Ricardo melanjutkan, merespons krisis dengan cepat, bukan berarti reaktif. Sebaliknya, sebelum melakukan keterbukaan informasi terkait krisis, PR harus lebih dulu menentukan pesan kunci terkait berbagai hal yang akan disampaikan kepada publik. Sebab, respons yang tidak tepat dan bijak, justru akan membawa masalah baru. Tak menutup kemungkinan menjadi viral di media sosial.
Membutuhkan Data
Kembali kepada Griffin. Menurutnya, sebelum merespons, PR harus terlebih dahulu mengetahui fakta secara rinci mengenai hal yang sedang terjadi hingga mengapa hal itu bisa terjadi. Tujuannya, agar PR dapat membantu organisasi untuk dapat memberikan respons yang tepat.
Untuk dapat merespons situasi krisis dengan baik, PR juga harus mampu mengidentifikasi krisis. Dikutip dari PR Daily, Paul Quigley, co-founder dan CEO NewsWhip, platform media monitoring dari Irlandia, mengatakan, untuk dapat mengidentifikasi krisis dengan tepat, praktisi PR membutuhkan data. Identifikasi krisis yang tepat selanjutnya dapat membantu organisasi dalam pengambilan keputusan. Khususnya, terkait hal yang perlu ditanggapi oleh organisasi.
Apabila krisis tersebut terjadinya di media sosial, seperti dalam kasus ini, maka data yang dimaksud adalah mengenai tingkat penyebaran informasi tersebut di media sosial. “Dengan memiliki data yang baik, PR dapat membuat keputusan berdasarkan strategi. Sebaliknya, bukan karena panik,” tutupnya. (mfp)