Kepercayaan publik terhadap industri sains sedang menurun. Mengapa demikian? Apa yang bisa dilakukan oleh PR?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kepercayaan masyarakat terhadap industri sains berada di ujung tanduk. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh 3M State of Science 2021 tercatat 32% responden percaya bahwa hidup mereka tidak akan jauh berbeda jika sains tidak ada.
Contoh, tidak sedikit masyarakat di seluruh dunia yang mengabaikan nasihat para ilmuan yang disampaikan melalui pejabat kesehatan masyarakat. Khususnya, terkait pentingnya menggunakan masker untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Sejalan dengan survei tadi, penelitian yang diterbitkan oleh National Bureau of Economic Research menunjukkan bahwa secara historis, kepercayaan pada ilmuwan dan manfaat dari pekerjaan mereka berkurang secara signifikan setelah pandemi yang terjadi secara global.
Berdasarkan sudut pandang public relations (PR), menurut Robert Simpson, CEO PR Associate, yang dilansir dari Forbes.com, Kamis (13/1/2021), salah satu masalah terbesar mengenai pemahaman publik tentang sains adalah kurangnya komunikasi yang baik. Apalagi sebagian besar penemuan ilmiah bersifat kompleks yang sulit dipahami dan dijelaskan kepada masyarakat awam.
Selain itu, tantangan yang dihadapi praktisi PR pada industri sains adalah menurunnya jurnalisme investigasi sains. Survei yang dilakukan oleh Nature terhadap 493 jurnalis sains menunjukkan hilangnya pekerjaan mereka di seluruh sektor. Di satu sisi, beban kerja mereka yang tersisa juga terus meningkat.
Simpson mengatakan, pada tahun 1989, Amerika Serikat memiliki sekitar 95 surat kabar yang di dalamnya memiliki rubrik khusus tentang sains. Kondisi yang terjadi saat ini, jumlah surat kabar yang masih memiliki rubrik sains terus menurun. Hal ini dikarenakan rubrik ini tidak mendatangkan keuntungan, seperti mengundang ketertarikan pengiklan.
Tantangan ketiga yang dihadapi PR adalah sifat audiens yang terfragmentasi atau terbagi-bagi akibat teknologi. Saat ini pembaca cenderung mencari berita dan opini sesuai dengan yang mereka percaya. Akibatnya, keyakinan yang belum tentu benar itu makin kuat.
Apalagi cara bekerja algoritma yang ada pada media sosial adalah mempelajari preferensi dan menyesuaikan konten dengan selera penggunanya. Dengan demikian, mereka yang percaya pada pseudo-sains (ilmu semu), memiliki keyakinan yang salah divalidasi, dan berpotensi menyebarkan disinformasi ke lingkaran mereka sendiri.
Dengan begitu, PR harus bekerja keras untuk memastikan sains dihargai dan dianggap serius. Untuk memastikan hal tersebut, PR perlu menciptakan komunikasi yang jelas dan ringkas yang dapat dipahami dan dipercayai oleh semua orang. (zil)