Indonesia ternyata memiliki modal yang tidak dimiliki oleh negara lain dalam membangun nation branding di mata internasional. Apa itu?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Sebagai negara yang menganut politik luar negeri bebas aktif, Indonesia bisa berkomunikasi serta bekerja sama dengan negara manapun. Tanpa ada tekanan dan pengaruh dari kebijakan negara lainnya di dunia. Demikianlah pernyataan yang disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah di hadapan para peserta Kopi Darat PR Rembuk bertajuk "Nation Branding" yang berlangsung di Kompas Gramedia, Selasa (9/8/2022).
Inilah yang menjadi menjadi nilai tambah bagi Indonesia dalam membangun nation branding di mata internasional. Apalagi tidak semua negara di dunia memiliki modal ini. Dengan adanya nilai tambah itu, Indonesia dapat dengan mudah berkomunikasi dengan negara-negara adidaya seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Rusia. Komunikasi yang dibangun itu tidak hanya terkait dengan kepentingan nasional, tapi juga kemaslahatan negara-negara di dunia.
Bukti tidak adanya tekanan dan pengaruh dari negara manapun di dunia juga ditunjukkan dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah RI belum lama ini. Sebagai Presidensi Group of Twenty (G20), Indonesia memutuskan untuk mengundang Rusia dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) di Bali pada November 2022 mendatang. Sikap ini sekaligus menunjukkan independensi politik luar negeri Indonesia sebagai anggota Gerakan Non Blok (GNB) dalam menyikapi perang antara Rusia dengan Ukraina, serta ketegangan yang terjadi di negara-negara Barat.
Meski begitu, Faiz, begitu Teuku Faizasyah akrab disapa, mengaku membutuhkan usaha luar biasa dalam membangun komunikasi politik luar negeri. Upaya itu dilakukan mulai dari Presiden Joko Widodo hingga Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang secara rutin menemui para pemimpin dunia untuk menangkap aspirasi mereka. Aspirasi yang sudah terkumpul itu selanjutnya diformulasikan ke dalam konsep-konsep dan pendekatan diplomasi.
Persepsi
Pertanyaan mengemuka kemudian. Apakah nilai tambah yang dimiliki tadi mampu mendongkrak peringkat Indonesia yang berdasarkan riset Brand Finance tahun 2021 masih berada di urutan ke-52 dari total 100 negara sebagai “Strongest Nation Brand”?
Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur riset ini. Antara lain, investasi, ekuitas, dan kinerja. Jika melihat urutan tersebut, sudah jelas masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah Indonesia. Kuncinya, kata Duta Besar RI untuk Kanada periode 2014 – 2018 itu berpendapat, sebelum berusaha mengubah persepsi internasional terhadap Indonesia, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah realita atau kenyataan di dalam negeri.
Menurut Faiz, semakin banyak orang yang kecewa dengan pengalamannya saat berinteraksi dalam segala isu, baik ekonomi, pariwisata, maupun sektor lainnya, maka semakin banyak pula masalah yang harus diatasi. Sementara itu, mengembalikan reputasi yang terlanjur rusak, apalagi di mata internasional, perlu proses dan memakan waktu panjang yang melelahkan.
Maka, untuk menyelami pandangan berbagai kalangan stakeholders, menurut Presiden Direktur IPM PR Maria Wongsonagoro, Indonesia perlu melakukan survei persepsi mengenai nation branding. Survei yang dimaksud tidak hanya dilakukan oleh lembaga luar negeri kepada publik internasional, melainkan oleh pemerintah kepada masyarakat dalam negeri. “Karena persepsi itu bisa bersifat nyata, irasional, bahkan menyebar dengan sangat cepat,” ujar PR INDONESIA Guru tersebut.
Kepada para praktisi PR, Maria lantas menekankan agar dalam mewujudkan nation branding, setidaknya ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, leadership atau kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo untuk memberikan pengarahan langsung. Kedua, mengetahui positioning Indonesia di mata dunia. Ketiga, adanya panduan komunikasi di tingkat nasional. (ais)