Praktisi public relations (PR) harus berhati-hati dalam mengumpulkan data konsumen saat menyusun strategi komunikasi. Sebab, Pengumpulan data digital sering kali riskan terhadap pelanggaran privasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Masih ingatkah Anda dengan kasus kebocoran data sertifikat vaksin PeduliLindungi tahun 2021? Atau, yang terbaru, kasus kebocoran data BPJS. Berdasarkan informasi yang dilansir dari CNN.com, Jumat (3/9/2022), akibat kasus ini diduga ada sebanyak 279 juta data penduduk Indonesia yang berasal dari BPJS Kesehatan bocor dan dijual di forum hacker.
Kasus-kasus kebocoran data yang kian marak, tentu menciptakan ketakutan tersendiri di tengah masyarakat. Terutama mengenai keamanan data dan privasi daring mereka. Menyikapi fenomena ini, menurut informasi yang dikutip dari variety.com, Rabu (3/3/2021), mulai tahun 2022, Google menjamin keamanan data penggunanya- dengan cara berhenti menjual iklan berdasarkan data penjelajahan individu.
Lantas, bagaimana perusahaan yang mengandalkan riset pasar dapat menghimpun informasi kritis yang diperoleh dari data konsumennya? Menurut Roseanne Luth, CEO dari Luth Research, seperti yang dilansir dari prnewsonline.com, Jumat (16/4/2022), makin ke sini konsumen semakin ragu untuk waspada dengan praktik-praktik pengumpulan data tanpa sepengetahuan mereka. Namun, mereka akan mempertimbangkannya apabila perusahaan menawarkan opsi yang lebih transparan.
Luth mengatakan, sebenarnya ada banyak cara untuk mendorong konsumen berbagi data digital mereka. Misalnya, dengan memberikan hadiah atau suvenir setelah mereka selesai mengisi survei kepuasan pelanggan. Perusahaan juga dapat mengamati perilaku pelanggan dengan memantau aktivitas mereka dari situs web perusahaan dan halaman media sosial perusahaan.
Selain itu, perusahaan juga dapat mengumpulkan alamat IP perangkat konsumen. Lalu, menggunakan informasi tersebut untuk membangun profil pelanggan yang dipersonalisasi dan mengirimkan iklan yang relevan untuk konsumen.
Cara lain untuk mengumpulkan data konsumen yang aman adalah dengan melacak riwayat transaksi mereka. Data seperti ini selalu memiliki nilai numerik, seperti pengukuran waktu, dan dapat mencakup data lebih dari satu orang atau objek. Contoh, data transaksi yang meliputi faktur, pembayaran atau pesanan.
Perusahaan juga perlu mengembangkan kebijakan privasi informasi konsumen. Kebijakan ini akan menjelaskan semua metode yang digunakan perusahaan untuk mengumpulkan data digital pelanggan. Langkah ini bertujuan untuk menghindari potensi kesalahpahaman di kemudian hari. Selain itu, PR harus memastikan kebijakan ini mudah diakses di situs web dan situs media sosial perusahaan.
Upaya perusahaan dalam menggunakan dan mengumpulkan data pelanggan mungkin tampak seperti tugas yang rumit. Tetapi, jika dilakukan dengan benar dan aman, maka akan memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan dalam melengkapi dan mendapatkan pengetahuan yang berharga untuk meningkatkan produk serta layanan.
Luth menegaskan, perusahaan perlu untuk memberi tahu pelanggan mengenai data yang dikumpulkan. Mulai dari menyampaikan secara terbuka mengenai hal yang akan dilakukan dengan menggunakan data tersebut, manfaat, dan alasan atau tujuan perusahaan mengumpulkan data tersebut. Kejujuran perusahaan inilah yang akan membuat konsumen tetap loyal kepada mereka. (zil)