Personal branding merupakan jembatan bagi khalayak untuk mengenal keistimewaan dan nilai suatu individu.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Konsep personal branding pertama kali diperkenalkan oleh Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Positioning: The Battle for Your Mind tahun 1981. Dalam buku tersebut, Ries dan Trout berpendapat setiap orang seharusnya memosisikan diri dan karier agar dapat memperoleh manfaat.
Dikutip dari prweek.com, 30 Maret 2022, Chris J 'Mohawk' Reed, pendiri dan CEO Black Marketing, mengatakan, dalam menunjukkan keistemewaan, tidak selamanya harus sejalan dengan kemampuan yang sebenarnya. Menurutnya, hal ini dikarenakan personal branding berbeda dengan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang. Personal branding penting bagi orang lain untuk mempelajari suatu individu atau organisasi. Melalui personal branding khalayak dapat mengetahui kelebihan dan nilai yang dimiliki oleh individu/organisasi bersangkutan.
Reed mengatakan, dalam skenario penerimaan karyawan, seseorang akan diterima oleh suatu perusahaan berdasarkan personal branding yang dibangun di media sosial. Bukan berdasarkan kualifikasi, kredibilitas, atau pengalaman. “Idealisme meritrokrasi sudah mati,” katanya. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, meritokrasi mengandung makna sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi.
Saat ini, ketika seseorang dihadapkan dalam wawancara, maka personal branding merupakan pembeda yang tidak dimiliki oleh kandidat lain. Alhasil, orang dengan kualifikasi tinggi tidak mendapatkan pekerjaan yang tepat dikarenakan yang bersangkutan tidak mengelola personal branding-nya dengan baik.
Alat Mengontrol Narasi
Jika mengacu pada pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa personal branding dapat dianggap sebagai kemampuan seseorang untuk mengontrol narasi citra mereka, terlepas dari berbagai faktor seperti pendidikan, pengalaman profesional, dan status sosial ekonomi. Reed, contohnya, tidak memiliki riwayat pendidikan tinggi. Dia menggunakan kekuatan media sosial, khususnya LinkedIn. dalam membangun persona dan membentuk citranya sebagai seorang pengusaha melalui kisah dan pemikirannya.
Sementara itu, menurut Sunshine Farzan, Kepala Grup Pemasaran dan Komunikasi Tricor Group, terdapat dua kunci utama dalam membangun personal branding. Yakni, storytelling dan autentikasi. “Untuk dapat menarik perhatian audiens, kita harus mampu menceritakan kisah yang autentik tentang diri kita dan memancing interaksi pada konten tersebut,” katanya.
Reed sependapat. Menurutnya, tidak ada ruang untuk memalsukan cerita. Sebaliknya, autentikasi merupakan aspek esensial dalam personal branding. ”Personal branding yang berlebihan dapat menjadi bencana bagi reputasi seseorang,” ujarnya.
Sebaiknya, kata Ayu Kusuma, co-founder dan Direktur Think PR, saat menjadi pemateri di workshop APPRIentice, Jumat (16/10/2020), kita kembali lagi pada tujuan personal branding. Yakni, untuk meningkatkan kredibilitas, kepercayaan, dan menunjukan keistimewaan. (zil)