Diversity, Equity, dan Inclusion (DEI) menjadi tren beberapa tahun terakhir ini. Walaupun pada hakikatnya ketiga hal ini menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian, sebenarnya DEI bukanlah “barang baru”. Akan tetapi, ketiga unsur ini dipilah dan dikemas dengan mendapat penekanan khusus dalam kaitannya dengan organisasi perusahaan.
Oleh: Noke Kiroyan, Chairman and Chief Consultant Kiroyan Partners
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dengan pemilahan dan penekanan khusus ini maka aspek kebinekaan, kesetaraan dan inklusi menjadi fokus sehingga memudahkan advokasi dan menyusun kebijakan pendukungnya.
Kesetaraan (equity) dan inklusi (inclusion) secara eksplisit dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tanggal 10 Desember 1948 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian mengikat bagi para negara anggotanya. Seyogyanya semua negara anggota PBB menerapkan ketiga puluh pasal yang tercantum di dalam deklarasi ini. Diversity atau kebinekaan tidak dinyatakan secara eksplisit akan tetapi adalah keniscayaan. Bahwa kebinekaan merupakan ciri dari masyarakat modern di abad ke-21.
Mobilitas dan kemudahan berkomunikasi masyarakat modern mempercepat, mempermudah dan memperluas kemungkinan berinteraksi antarwarga masyarakat dan meningkatkan kebutuhan memasukkan DEI secara sadar dalam kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat. Media sosial menjadi akselerator komunikasi dan interaksi antar warga dengan meruntuhkan tembok-tembok sosial yang memisahkan anggota masyarakat. Kanal komunikasi ini juga memungkinkan orang yang tidak saling mengenal dan tidak pernah berjumpa terlibat dalam interaksi intensif dan terkadang menjurus kepada pertengkaran di dunia maya.