Semakin terjangkaunya akses digital di wilayah-wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) menjadi bukti nyata komitmen pemerintah—dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)—untuk mengimplementasikan nilai-nilai DEI dan ESG.
LABUAN BAJO, PRINDONESIA.CO - Pernyataan inilah yang dikemukakan oleh Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik Kemenkominfo Hasyim Gautama. Menurut Hasyim, kesadaran masyarakat akan isu-isu terkait diversity, equity, inclusion (DEI) serta environmental, social, governance (ESG) semakin hari terus meningkat. Hal ini bukan tanpa alasan. Sebab, nilai-nilai yang terkandung di dalam DEI dan ESG mampu mempengaruhi pembentukan citra/reputasi dari sebuah organisasi di mata masyarakat.
“Dengan akses digital yang semakin mudah, maka citra instansi akan semakin mudah terpantau juga oleh masyarakat,” ujarnya di hadapan 63 orang peserta sesi konferensi Indonesia DEI & ESG Awards (IDEAS) 2022 di Labuan Bajo, Rabu (3/8/2022).
Beberapa hal lain yang juga dapat mempengaruhi pembentukan citra sebuah organisasi, di antaranya, seberapa besar organisasi tersebut memberikan perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, upaya yang dilakukan untuk menjaga lingkungan, hingga komitmen organisasi untuk menumbuhkan budaya inklusi, baik dalam lingkup internal maupun eksternal.
Bahkan, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara organisasi yang memperhatikan nilai-nilai ESG terhadap keberlangsungan jangka panjang di masa mendatang.
Menurut Hasyim, kondisi ini perlu mendapat perhatian khusus dari para praktisi public relations (PR) tanah air. Terlebih, di era keterbukaan informasi memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah timbal balik (simetris). “Pola komunikasi ini memberikan keleluasaan partisipasi publik terhadap kebijakan-kebijakan publik, maupun kebijakan di instansi masing-masing,” ujarnya.
Membumikan Narasi
Sebut saja perhelatan akbar Presidensi Group of 20 (G20). Meskipun Indonesia didaulat sebagai tuan rumah penyelenggaraan forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU), namun sayangnya hanya sekitar 30 persen masyarakat Indonesia yang mengetahui Indonesia merupakan Presidensi G20 kali ini (hasil survei Indikator Politik Indonesia).
Kondisi ini tentunya menjadi pekerjaan rumah besar bagi para praktisi PR untuk membumikan agenda Presidensi G20, terutama di kalangan masyarakat akar rumput. Jangan sampai kita melewatkan kesempatan besar untuk menciptakan national branding di hadapan bangsa-bangsa lain melalui narasi-narasi positif tentang G20 Indonesia.
Hasyim lantas berpesan agar seluruh praktisi PR, baik pemerintah maupun di instansi masing-masing agar dapat membangun nation branding/reputasi bangsa Indonesia melalui praktik-praktik kerja kehumasan yang tidak hanya mendukung aspek digitalisasi. Lebih dari itu, mampu menambah nilai-nilai kebaikan, merangkul semua pihak dalam bermitra, tak lain demi masyarakat yang berkelanjutan. (ais)