Public Relations (PR) memainkan fungsi kritikal sebagai penjembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Komunikasi yang dibutuhkan pun bukan yang bersifat reaksional, tapi harus dirajut secara terus-menerus.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Aksi mogok yang dilakukan oleh para pelaku jasa layanan pariwisata yang tergabung dalam Asosiasi Pelaku Wisata dan Individu Kabupaten Manggarai Barat dipicu oleh rasa ketidakpuasan masyarakat atas penetapan kenaikan tiket masuk kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) menjadi Rp 3,75 juta/orang. Sebagai bentuk protes, mereka sepakat melakukan mogok serentak selama satu bulan dari tanggal 1 – 31 Agustus 2022.
Kondisi ini tentunya berdampak langsung pada rencana pelaksanaan rangkaian acara The 1st Indonesia DEI & ESG Awards (IDEAS) 2022 yang akan berlangsung pada tanggal 3 – 5 Agustus 2022 di Labuan Bajo.
Namun di sisi lain, kejadian ini menyadarkan kita akan pentingnya peran PR dan upaya membangun komunikasi yang harmonis. Kami lantas teringat percakapan antara PR INDONESIA dengan Marsha Imaniara, Associate Account Director AKA Asia di akhir tahun 2019. Menurut perempuan yang sebelumnya menjabat sebagai Advisor dan General Manager Maverick Indonesia itu, penanganan krisis yang efektif, termasuk soal disharmonisasi, harus dual track.
Yakni, antara komunikasi dengan operasional berjalan beriringan. “Keduanya tidak bisa berdiri sendiri,” ujarnya. “Tidak mungkin kita mengklaim isunya sudah tertangani dengan baik kalau operasionalnya tidak berjalan dengan baik. Sebaliknya, operasionalnya sudah maju, tapi publik tidak tahu adanya perubahan. Keduanya harus dikelola dalam satu paket,” lanjutnya.
Apalagi saat ini terjadi pergeseran komunikasi. Pertama, komunikasi simbol tidak lagi efektif. Masyarakat kini lebih memerlukan hasil kerja nyata. Kedua, pergeseran komunikasi satu arah versus partisipatif. Jika dulu, setiap terjadi krisis, instansi/perusahaan segera membentuk perpsepsi publik dengan gencar mendistribusikan berita-berita positif. Strategi itu tak lagi berlaku. Masyarakat menginginkan adanya dialog dan keterlibatan.
Untuk itu, instansi/perusahaan harus membuka saluran komunikasi partisipatif yang memungkinkan masyarakat/audiens terlibat untuk memberikan kritik dan masukan. “Input dari publik selanjutnya kita olah dengan efektif sehingga mereka bisa melihat upaya instansi/perusahaan membuka akses komunikasi dan komitmen memperbaiki operasional berjalan berdampingan,” katanya.
Petakan
Adapun upaya untuk meminimalisasi terjadinya isu/krisis sosial bisa dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh instansi/korporasi meski tak sama persis. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan risiko atau risk mapping. Pertanyaannya, apakah saat ini sudah ada kajian mendalam yang benar-benar merumuskan karakteristik, kebutuhan dan keinginan para pelaku wisata Labuan Bajo?
Selanjutnya, rangkul perwakilan yang merepresentasikan elemen-elemen tadi untuk berdialog dengan pemerintah. Melalui dialog tadi, fasilitasi keinginan dan petakan lagi risiko yang berpotensi krisis. Kemudian, berikan program pemberdayaan atau pelatihan agar mereka memiliki kecakapan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mewakili pihaknya. Terutama, saat berhadapan dengan krisis.
Alangkah baiknya, kata Marsha, praktisi PR ikut bersama-sama berkontribusi meredam disharmonisasi yang terjadi. Apalagi negeri ini memiliki banyak praktisi PR dari akademisi, industri, instansi, organisasi, hingga agensi PR potensial. Agar kolaborasi bisa berjalan efektif, hal pertama yang diperlukan adalah adanya kepemimpinan. Selanjutnya, tiap insan PR mau melepaskan egosektoral. Mulai dari data, petakan akar masalahnya, buat daftar apa yang harus dilakukan. Lalu, road map mengenai tema yang harus dikomunikasikan, susun strateginya. “Jangan mulai dari taktik dan jangan berhenti di gimmick,” pesannya. (mai/ais)