Istilah komunikasi krisis (crisis communication) dan komunikasi risiko (risk communication) sering digunakan oleh para praktisi komunikasi atau public relations (PR). Sering kali dua istilah ini digunakan secara bergantian, merujuk kepada bentuk komunikasi yang dilakukan oleh organisasi/korporasi untuk menghadapi bahaya atau risiko tertentu. Namun, masih kerap ditemukan praktisi PR kurang tepat dalam menggunakan dua istilah ini.
Oleh: Inadia Aristyavani, Chairperson PR Society and Communications of Indonesia (PRSI)
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Perbedaan di antara keduanya saya uraikan secara terperinci dalam buku terbaru saya berjudul Komunikasi Risiko: Konsep, Teori dan Strategi. Namun, secara garis besar, saya merangkumnya di sini, khusus bagi pembaca setia PR INDONESIA.
Perbedaan utama antara komunikasi krisis dan komunikasi risiko itu sebenarnya terletak pada tujuannya. Komunikasi krisis adalah komunikasi yang dilakukan saat terjadi suatu peristiwa. Misalnya, peristiwa kecelakaan pesawat terbang, kebocoran kilang minyak, meledaknya pipa gas, bencana alam, terorisme, dan sebagainya. Sementara komunikasi risiko merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan sebelum terjadi suatu peristiwa. Adapun komunikasi yang dilakukan bertujuan untuk membangun kesadaran publik akan adanya bahaya (risiko) dan melakukan persuasi kepada publik agar melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya risiko/bahaya.
Tujuh Perbedaan
Rynolds dan Seeger (2005) membuat tinjauan yang sistematis perbedaan antara komunikasi krisis dengan komunikasi risiko. Pertama, fokus. Komunikasi krisis berfokus pada menyelesaikan krisis sekaligus memperbaiki reputasi organisasi yang terganggu akibat krisis tersebut. Nah, PR berperan dalam melakukan program komunikasi atau berbagai aktivasi untuk mengatasi kerugian terhadap reputasi tersebut.