Melalui peristiwa Nabi Ibrahim AS, manusia belajar pentingnya melakukan uji validitas. Dari sana kita kemudian mengenal istilah yang saat ini sering kali menjadi pengingat kala bermedia sosial. Yakni, “Saring before sharing”.
Oleh: M. Himawan Hidayanto, Pranata Humas Madya Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Dalam waktu dekat, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut Idul Adha. Buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El Fikri mengurai asal muasal kisah melempar jumrah yang terjadi sekitar 4.000 tahun lalu, tepatnya pada 1870 SM.
Ketika itu dikisahkan Nabi Ibrahim AS bermimpi mendapatkan informasi berupa perintah super sulit untuk menyembelih putra kesayangan beliau, Nabi Ismail AS (beberapa keterangan lain menyebutkan Nabi Ishaq AS), mimpi pertama terjadi pada tanggal 8 Dzulhijjah. Di dalam sejarah Islam, peristiwa pada tanggal di saat Nabi Ibrahim sedang mengalami kegalauan luar biasa itu disebut dengan hari tarwiyyah atau mempertimbangkan dengan saksama.
Di malam berikutnya, tanggal 9 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim kembali bermimpi didatangi sosok yang sama menyampaikan hal serupa. Namun, perintah tersebut terasa lebih yakin dan mantap. Kejadian tersebut kemudian dikenal dengan hari Arafah yang berarti keyakinan/mengetahui.
Sosok yang sama kembali hadir pada tanggal 10 Dzulhijjah. Di mimpi terakhir ini, Nabi Ibrahim lebih meneguhkan dan memantapkan keputusan untuk melaksanakan perintah langit yang iya yakini benar-benar bersumber dari Allah SWT.
Menguji Validitas Informasi
Lantas, apa makna dari kisah ini? Bahwa di dunia digital seperti saat sekarang, keteladanan seperti Nabi Ibrahim AS sangat diperlukan. Terutama, kedewasaan dalam bersosialisasi dan rambu-rambu digital dalam hak berekspresi, mengakses dan membagikan (sharing) informasi. Apalagi menurut data We Are Social, per Januari 2022, pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta. Jumlah ini meningkat dibanding tahun sebelumnya 1,03%.
Dari Nabi Ibrahim, kita belajar bahwa setiap mendapat informasi harus ditelaah dan diuji kebenarannya sebelum kemudian informasi tersebut diyakini kebenarannya. Hal ini penting dilakukan karena informasi yang diterima harus diketahui terlebih dulu mengenai sejauh mana ketepatan dan validitasnya.
Diperlukan usaha untuk menguji validitas dan kesahihan informasi yang didapat baik bersumber dari orang, berupa mimpi, media sosial maupun sumber lainnya. Terutama, untuk membuktikan kebenaran dan keyakinan mutlak bahwa informasi itu ada benar adanya.
Di antara bentuk pengujian validitas informasi mimpi itu, Nabi Ibrahim AS, misalnya, menahan diri sembari menelaah kevalidan informasi. Meskipun ia merupakan nabi yang harus meyakini bahwa informasi tersebut datangnya dari langit berupa wahyu Allah SWT, bukan berasal dari sumber atau makhluk lain.
Jika dikaitkan dengan era media sosial saat ini, kita mengenal istilah “Saring before sharing”. Yakni, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan apabila mendapatkan informasi dari media sosial. Antara lain, perlu mengecek kebenaran informasi, tingkat manfaat, urgensi, sebelum akhirnya disebarkan kepada khalayak.
Kisah Nabi Ibrahim bisa menjadi tonggak fondasi dan contoh dasar dalam kaidah-kaidah menerima informasi, serta pentingnya menyaring dan mengolah informasi. (*)