Ada empat jenis disrupsi di era volatility, uncertainity, complexity, dan ambiguity (VUCA). Apa dan bagaimana PR melakukan manajemen krisis di tengah era disrupsi ini?
SEMARANG, PRINDONESIA.CO - Isu tersebut menghangat dalam workshop “Manajemen Komunikasi Krisis yang Empatik dan Reputatif di Era Digital” yang diselenggarakan PR INDONESIA di Semarang, Kamis (24/3/2022). Menurut Direktur LSP Manajemen Komunikasi Magdalena Wenas, era VUCA telah menimbulkan empat jenis disrupsi meliputi disrupsi pemikiran, disrupsi budaya, disrupsi PR, dan disrupsi regulasi.
Ia melanjutkan, era VUCA yang rapuh (fragile) harus diubah menjadi gesit (agile). Untuk menghadapi perubahan yang begitu cepat (volatility) dibutuhkan visi. Guna menghadapi ketidakpastian (uncertainty) dibutuhkan pengertian (understanding). Sementara untuk menghadapi ragam kerumitan (complexity) harus dengan kejelasan (clarity). Sedangkan untuk menghadapi sesuatu yang membingungkan atau ambiguity dibutuhkan kegesitan atau agile.
Untuk menyiasati disrupsi ini, ujar peraih Master in Communication Erasmus University Rotterdam itu, organisasi harus memiliki empat hal. Pertama, demokratis. Menurutnya, demokrasi harus dimulai dari dalam organisasi. Demokrasi memungkinkan siapa saja untuk menyampaikan pendapatnya. Kedua, transparansi. “Sebagai praktisi PR, kita harus dapat melihat sejauh mana akses keterbukaan informasi yang kita berikan untuk publik,” katanya. Ketiga, akuntabel atau dapat dibuktikan. Keempat, supremasi hukum untuk mengetahui mana yang baik dan buruk.
Penajaman
Apa pun eranya, kata pendiri PR Society Indonesia ini, PR harus tetap melibatkan unsur empati dalam berkomunikasi. Sebab, empati merupakan manajemen persepsi yang membantu PR dalam mengomunikasikan perasaan dan ide yang masuk akal kepada orang lain. “Empati juga membantu kita memahami publik yang berkomunikasi dengan kita,” ujar Magda.
Ia lantas merangkum beberapa cara untuk menunjukkan empati dalam berkomunikasi. Pertama, active listening. Menurutnya, saat ini masih banyak praktisi PR yang lebih fokus berbicara ketimbang mendengarkan. Padahal mendengar sangat penting untuk mewujudkan pemahaman yang sama (mutual understanding). Kedua, kemampuan observasi. “Sebagai praktisi PR, kita harus peka dalam membaca dan memerhatikan audiens,” katanya.
Ketiga, customer focus. Menurutnya, PR harus memahami empati menyangkut kepentingan orang lain, bukan semata-mata untuk kepentingan sendiri. Keempat, mindfulness atau fokus terhadap keadaan saat ini, menerima, dan tidak menghakimi. Kelima, thoughtfulness. Langkah ini dapat ditunjukkan dengan memberikan perhatian dan keprihatinan.
Magda meyakini setiap emosi bisa menular, termasuk kepanikan. “Untuk itu, mulailah bersikap empati dengan menularkan kenyamanan agar stakeholder mau berdialog dengan kita,” imbuhnya. (rvh)