Konteks politik, sosial dan budaya sangat penting dalam public affairs. Hal ini dikarenakan pesan yang disampaikan harus memperhitungkan faktor-faktor tersebut dan dampak yang ditimbulkan. Di dalam nation branding, faktor-faktor ini bukan saja penting, malah dalam banyak hal, politik menjadi penggerak atau motivasi utama untuk advokasi berkelanjutan. Bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan melainkan kepentingan lebih besar, yaitu kepentingan bangsa atau kepentingan nasional.
Oleh: Noke Kiroyan, Chairman and Chief Consultant KIROYAN PARTNERS.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Contoh Korea Selatan yang saya angkat di dalam PR INDONESIA Edisi 82/Januari 2022. Sekalipun berdampak ekonomi sangat positif, motivasi juga awalnya merupakan politik nasional negara tersebut. Yaitu, membentuk reputasi internasional agar meningkatkan kredibiltas negara ini. Tujuannya, menjadikan Korea Selatan disukai oleh masyarakat dunia dan rakyatnya sendiri setelah sekian lama pemerintahan dijalankan di bawah kediktatoran militer yang represif dan silih berganti selama puluhan tahun.
Salah satu pertimbangan utama dalam nation branding adalah mewujudkan hal yang dalam Ilmu Politik disebut “soft power” seperti dikatakan oleh Dr. Anna Schwan. Selain sebagai dosen di Universitas Hamburg, Jerman, beliau merupakan pendiri dan CEO Public Relations Schwan Communications di kota yang sama. Schwan mengupas tentang situasi di Jerman dalam buku Nation Branding in Europe yang terbit tahun 2022. Buku tersebut berisi pelaksanaan nation branding di 14 negara Eropa.
“Soft Power versus Hard Power”
Menurut pendapatnya, berbeda dengan “hard power” yang diwujudkan melalui kekuatan ekonomi dan militer, soft power bertujuan meningkatkan reputasi suatu negara agar menciptakan citra positif yang membuat negara yang bersangkutan menarik. Khususnya, sebagai tujuan investasi, kalangan professional dan masyarakat umum. Untuk mencapainya, negara yang bersangkutkan perlu melakukan strategi komunikasi dan kemauan politik. Jadi, jelas bahwa peran utama berada di pemerintah. Berdasarkan analisisnya, Jerman lemah dalam nation branding sehingga tidak dapat mewujudkan soft power.