Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan akan mengutamakan kepentingan nelayan lokal dalam implementasi kebijakan penangkapan terukur di Indonesia. Kuota untuk nelayan lokal diberikan tanpa batasan dan tidak dipungut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Muhammad Zaini Hanafi di Jakarta, Senin (4/4/2022), pemerintah tidak memberikan pembatasan. Sebaliknya, akan memenuhi berapa pun kuota yang dibutuhkan nelayan lokal. “Jika mereka sekarang mengambil satu kapal untuk satu ton, kemudian nanti 10 ton, silakan kalau mampu,” katanya.
Selain itu, pemerintah juga tidak mengenakan sistem kontrak, nelayan pun tidak perlu membayar PNBP. “Peraturan perizinan pun tidak ada yang berubah. Namun, nelayan lokal diarahkan membentuk kelompok atau koperasi supaya lebih kuat,” katanya.
Pernyataan Zaini ini sekaligus menjawab kekhawatiran sejumlah pihak yang menganggap penerapan kebijakan penangkapan terukur akan merugikan nelayan lokal sebab kuota penangkapan diutamakan untuk pemodal/investor.
Zaini memaparkan, dari enam zona penangkapan yang mencakup sebelas WPPNRI, zona 1 - 4 yang disebut sebagai zona penangkapan industri di mana kuota dibagikan kepada nelayan lokal, nonkomersial, dan industri.
Empat zona ini meliputi WPPNRI 711 (Zona 1), WPPNRI 716 dan 717 (Zona 2), WPPNRI 715, 718 dan WPPNRI 714 (Zona 3), WPPNRI 572 dan WPPNRI 573 (Zona 4). Sedangkan dua zona lainnya yang tersebar di WPPNRI 571 (Zona 5) serta WPPNRI 712 dan 713 (Zona 6) merupakan zona penangkapan biasa yang tidak menerapkan sistem kuota.
Ia melanjutkan, yang kedua kuota untuk nonkomersial, yaitu untuk pendidikan, pelatihan dan hobi (mancing). Hanya sekitar 0,01 persen dari kuota yang ada. “Setelah terdapat sisa baru setelah itu digunakan untuk industri,” katanya.
Penerima kuota industri ini juga memiliki aturan yang ketat. Pemberitaan kuota industri diutamakan bagi pelaku usaha perikanan yang sudah berjalan/existing dan apabila masih memiliki sisa kuota, barulah diberikan kepada calon investor.
Syarat bagi calon investor pun cukup ketat. Salah satunya harus memiliki modal usaha minimal Rp200 miliar untuk memastikan keseriusan pelaku usaha dalam menjalani bisnis perikanan dalam jangka waktu yang panjang. Langkah ini sekaligus untuk mengantisipasi terjadinya percaloan kuota penangkapan. “Jadi bagi calon investor yang mau masuk, akan sangat ketat aturannya. Kita tidak akan obral, dan agar tidak ada calo yang masuk,” ungkap Zaini.
Distribusi Ekonomi
Zaini menambahkan, selain kuota, alat tangkap turut diatur dalam implementasi kebijakan penangkapan terukur. Alat tangkap yang dipakai harus ramah lingkungan sebagai upaya menjaga keberlanjutan ekosistem laut. Dia juga memastikan tidak ada pengkaplingan laut dalam penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota.
Menurutnya, hingga saat ini banyak pihak yang salah paham, bahwa seakan-akan kebijakan penangkapan terukur ini mengkapling laut. “Konsesinya bukan wilayah, tapi komoditasnya, jumlah ikan yang bisa diambil atau kuota,” ujarnya.
Sementara itu, esensi dari penerapan kebijakan penangkapan terukur, bertujuan untuk menghadirkan distribusi ekonomi yang lebih merata ke daerah di luar Pulau Jawa. Di samping itu, juga menjadi jalan terwujudnya Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional. Sebab, pelabuhan perikanan yang tersebar di provinsi tersebut akan menjadi lokasi wajib pendaratan ikan.
Menurutnya, hal ini disebabkan di Maluku terdapat empat pelabuhan. Jika setiap pelabuhan rata-rata menyimpan 300 ribu ton ikan sebagai lokasi pendaratan, maka terdapat 1,2 juta ton ikan di Maluku. “Hal inilah yang selalu diharapkan oleh Pak Menteri KKP. Sementara, untuk fasilitas nantinya akan mengikuti,” pungkasnya.