Sebagai bank sentral yang menjalankan fungsi untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, tim komunikasi Bank Indonesia (BI) dihadapkan pada empat tantangan sekaligus. Apa itu?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Muhammad Nur, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia, menjabarkan tantangan tersebut di hadapan peserta Konvensi Nasional Humas (KNH) secara virtual, Rabu (15/12/2021). Pertama, digitalisasi di bidang inovasi finansial. Perkembangan teknologi digital semakin mempermudah sekaligus menghadirkan berbagai macam jenis transaksi baru.
Kondisi ini lantas membuat tugas-tugas di bidang perbankan tak terkecuali bank sentral menjadi kian kompleks. Sebut saja, upaya BI dalam mengembalikan stabilitas harga, nilai tukar rupiah, hingga menjaga kondisi perdagangan Indonesia. “Kemudahan dalam mengakses informasi membuat yang tadinya tidak terlalu berpengaruh menjadi saling terkait,” ujar Nur.
Kedua, tingginya kesenjangan antara tingkat literasi dengan inklusi keuangan masyarakat Indonesia. Ketiga, transparansi adalah kunci. Terakhir, disrupsi digital di bidang komunikasi. Mulai dari fenomena post-truth, maraknya hoaks, disinformasi, hingga kehadiran jurnalisme warga yang tak kalah penting untuk menjadi perhatian para praktisi humas.
“Komunikasi itu sudah menjadi bagian dari kebijakan,” ujarnya mengutip pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo. Sebab, sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga tanpa adanya upaya komunikasi yang baik maka efektivitasnya tidak bisa maksimal.
Pada dasarnya, setiap aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh BI tak lain bertujuan untuk menjaga kredibilitas lembaga serta mengelola ekspektasi dari seluruh stakeholders. Mulai dari level kementerian, lembaga negara, parlemen, media, akademisi, serta seluruh lapisan masyarakat diharapkan dapat memahami setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh BI.
Apalagi di tengah kondisi multikrisis seperti pandemi COVID-19. Tim komunikasi BI dituntut mampu berkomunikasi secara lebih intens guna memberikan informasi sebagai suatu jaminan bahwa negara ini dalam kondisi yang baik dari sisi ekonomi. “Kalau kita tidak bisa memberikan suatu informasi yang mencerahkan atau menimbulkan suatu kepercayaan dan ekspektasi yang positif, maka bisa berdampak sangat parah,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antar kementerian/lembaga pemerintah maupun akademisi untuk menciptakan suatu kepercayaan kepada dunia usaha, investor, dan stakeholders terkait lainnya. Selain itu, BI juga terus berupaya menjaga transparansi, responsibilitas, serta mengikuti perkembangan teknologi digital.
Kompetensi Humas 4.0
Menurut Direktur Eksekutif Forum Human Capital Indonesia (FHCI) Sofyan Rohidi, dalam forum yang sama, ke depan praktisi humas dituntut tidak hanya memiliki keahlian dan pengetahuan (skill dan knowledge) saja, tetapi juga soft competence. Antara lain, keinginan untuk terus berubah, berinovasi, berkarakter, serta memiliki motivasi untuk maju.
Di sisi lain, terdapat beberapa kompetensi yang harus dimiliki praktisi humas di era 4.0. Pertama, learning agility, yakni mampu memahami dan mempelajari hal-hal baru dengan cepat. Kedua, change agility atau mampu beradaptasi dengan perubahan apa pun. Ketiga, mental agility, yakni mampu bertahan dalam kondisi apapun. Keempat, people agility, mampu bekerja sama dengan siapa pun. Kelima, result agility, yakni mampu tetap berprestasi dan berkontribusi dalam kondisi apapun.
“Dalam hal skill dan knowledge, humas dituntut memiliki kemampuan data analytics yang kuat, data science, information seeking. Sehingga, dapat mengambil langkah dengan tepat dan memberikan informasi dengan cepat,” pungkasnya. (ais)