Menjadi praktisi PR di industri maritim itu ibarat shadowboxing alias bertinju dengan lawan yang tak tampak. Permainannya bukan bagaimana organisasinya harus dikenal luas oleh publik, tetapi lebih kepada agar organisasi memiliki kredibilitas tinggi serta trust di mata stakeholders.
Hafidz Novalsyah, Manajer Komunikasi Korporat dan Relasi Pemangku Kepentingan Pelindo Marine Service
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Hal ini pula yang dirasakan oleh Hafidz Novalsyah selama tujuh tahun berkarier di industri yang rentan pada perubahan regulasi itu. Contohnya, ketika ada penolakan atas kenaikan tarif pelayanan. Maka, public relations di industri pelabuhan seperti Hafidz dituntut untuk mampu menjembatani komunikasi untuk ketiga pemangku kepentingan utama. Terdiri dari regulator, pengguna jasa dan asosiasi, serta masyarakat.
“Humas berada di tengah-tengah segitiga besar ini. Kami mencoba memfasilitasi kesepahaman untuk memunculkan goodwill mereka. Berperan penting, tapi tidak harus mengambil credit, yang penting pelayanan dan bisnis lancar,” ujar pria yang sebelumnya merupakan Corporate Communications Strategist di Pelindo III itu kepada PR INDONESIA, Selasa (16/11/2021).
Pengalaman lain yang tak kalah berkesan adalah pada saat insiden tertabraknya crane di Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS), pertengahan tahun 2019. Meskipun risikonya sudah dimitigasi, namun dampak dari krisis ini cukup fatal dan sempat menghentikan operasional terminal pelabuhan. Dari kejadian itu, Hafidz memetik pelajaran berharga. Menurut peraih gelar Master of Maritime Affairs dari World Maritime University (WMU), Swedia tersebut, setiap kejadian krisis harus selalu dicatat. “Write what you do and do what you write,” katanya. Sehingga, penanangan krisis di TPKS yang cepat akhirnya bisa diterapkan ketika terjadi di terminal lain.