Tingkat literasi yang baik akan menimbulkan kepercayaan (trust) konsumen kepada para pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Pada akhirnya konsumen berkeinginan untuk menggunakan produk dan layanan keuangan. Pengaduan di kemudian hari pun dapat diminimalisasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat kita sebesar 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%. Ibarat ada 100 orang yang membeli mobil, maka hanya 38 orang yang paham tentang cara mengoperasikannya. Di sini terjadi kesenjangan yang besar dan perlu segera dibenahi agar tidak mengganggu stabilitas sistem keuangan negara.
Menurut Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Kristianti Puji Rahayu, antara tingkat literasi dengan inklusi keuangan harus sejalan. Secara sederhana, tahapan literasi keuangan yang baik di awali dari membangun kesadaran (awareness), dilanjutkan dengan memiliki pengetahuan (knowledge) yang baik, mampu mengubah perilaku (behavior). Pada akhirnya timbul budaya (culture) dalam masyarakat yang mampu mengelola keuangan.
Ketika literasi keuangan masyarakat tinggi, tentunya menguntungkan bagi penyedia jasa keuangan. Sebab, apabila masyarakat tidak kenal dengan produk mereka, maka tidak ada kebutuhan. Namun, karena ada kesadaran, punya tujuan keuangan, rencana, dan bisa membedakan mana keinginan dan kebutuhan, akhirnya mereka butuh produk-produk keuangan. “Di sinilah terjadi simbiosis mutualisme,” ujarnya saat mengisi webinar bertajuk “Lindungi Keuangan, Masa Depan Aman”, akhir 2020 lalu.