Di era digital, upaya meliterasi keuangan berkejaran dengan derasnya inovasi baru maupun bentuk produk usaha di sektor keuangan yang makin beragam. Bagaimana peran public relations (PR) meminimalisasi kesenjangan antara tingkat literasi dengan inklusi keuangan di negeri ini?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat indeks inklusi keuangan nasional tahun 2019 mencapai 76,19% dengan tingkat literasi keuangan sebesar 38,03%. Menurut OJK, ada empat dampak yang ditimbulkan akibat rendahnya tingkat literasi keuangan. Di antaranya, tidak memiliki perencanaan keuangan yang baik, tidak memiliki tujuan keuangan, penempatan instrumen investasi yang tidak tepat, hingga terjebak ke dalam praktik investasi bodong.
Kondisi ini makin mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan era digital membuka lebih banyak peluang bagi industri keuangan untuk melakukan inovasi dan terobosan seluas-luasnya. Sementara, pemahaman pengguna terhadap produk dan layanan jasa keuangan masih sangat rendah. Akibatnya, hanya segelintir masyarakat yang merasakan manfaat dari inovasi tersebut dan mengoptimalkan uang untuk kegiatan yang produktif. Atau, sebaliknya, terjerumus ke dalam praktik-praktik keuangan atau investasi yang justru merugikan hanya karena termakan euforia.
Seperti yang disampaikan oleh Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara. Menurutnya, seiring berkembangnya digitalisasi sektor keuangan, ada dua tantangan yang dihadapi konsumen. Pertama, mereka perlu meningkatkan pemahamannya terkait digitalisasi produk dan layanan keuangan agar dapat menggunakannya secara optimal. Serta, memahami manfaat, risiko, hak, dan kewajiban konsumen. Kedua, bijak dalam memilih produk dan layanan keuangan termasuk menyikapi berbagai tawaran investasi dan pinjaman dana. “Dengan pemahaman digital yang memadai, konsumen tidak akan mudah ditipu atau menjadi korban kejahatan digital,” ujarnya.