Praktisi PR sepakat bahwa krisis merupakan kejadian genting yang dapat mengancam reputasi perusahaan. Sayangnya, tidak banyak dari mereka yang memiliki kepekaan terhadap potensi krisis dan isu.
BALI, PRINDONESIA.CO - Hal inilah yang menjadi concern Elvera N Makki, founder and CEO VMCS Advisory Indonesia yang juga merupakan President IABC Indonesia Chapter, saat mengisi sesi workshop bertajuk “Strategi dan Manajemen Komunikasi Krisis Pascapandemi” yang merupakan bagian dari rangkaian JAMPIRO #7 di Bali, Kamis (9/12/2021).
Diakui Vera, begitu Elvera akrab disapa, tidak mudah mengatur risiko dan isu. Alasannya, tidak semua orang mau untuk bersikap transparan. Serta, berjuang antara mengedepankan kepentingan target bisnis dengan melakukan sesuatu dengan benar dan melakukan hal yang benar pula secara etika dan kepemimpinan.
Pada dasarnya, kata Vera, ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya krisis di dalam suatu organisasi. Pertama, terdapat isu yang sering kali mengancam keberlangsungan perusahaan. Kedua, terjadi masalah mengejutkan dalam proses bisnis yang menyebabkan pemimpin atau karyawan tidak siap. Atau mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapinya. Ketiga, masalah mengharuskan perusahaan untuk mengambil keputusan secara cepat dan tidak terduga.
Kenali Perbedaannya
Untuk memitigasi hal tersebut, maka dibutuhkan fungsi Crisis Management Team (CMT). Terdiri dari lintas departemen dengan karakter, kemampuan, dan wawasan dalam menangani isu dan krisis. “Komando CMT harus datang dari CEO karena tugas ini berat. CEO-lah yang bertanggung jawab untuk semua keputusan dari krisis atau manajemen isu yang terjadi,” ujar Vera.
CMT harus diisi dengan orang-orang yang memiliki kebijaksanaan, mampu berpikir jernih, tidak berapi-api, dan tidak emosional. Di sisi lain, tegas dan bisa mengambil sikap. “Jadi, yang dilihat dari CMT tidak hanya posisinya, tapi juga karakternya,” kata Vera.
Lainnya yang penting untuk dipahami oleh praktisi PR adalah pada dasarnya isu dan krisis merupakan dua hal yang berbeda. “Setiap institusi pasti memiliki isu dan tantangan di setiap lini bisnisnya. Namun, tidak semua isu dan tantangan tersebut mengerucut menjadi krisis,” kata Vera. Di samping itu, isu dapat hadir dari internal maupun eksternal perusahaan. Sementara, krisis dapat terjadi akibat isu dan tantangan yang tidak dikelola dengan baik.
Perbedaan lain antara isu dengan krisis adalah krisis dapat terjadi karena sepenuhnya bersumber faktor eksternal. Biasanya, terkait bencana seperti pandemi, kebakaran, banjir, pesawat tertabrak burung, cuaca buruk, angin kencang, dan sebagainya. Krisis juga membutuhkan respons cepat dan tepat, serta bukanlah business as usual.
Sementara manajemen isu merupakan usaha berkesinambungan untuk memitigasi risiko. Contohnya, risiko kesehatan dan keamanan, keuangan, bisnis, reputasi, operasional, teknologi, hingga lingkungan. “PR harus bisa melihat bisnis perusahaan secara keseluruhan. Jangan hanya melihat dari sisi satu produk. Sebaliknya, harus benar-benar memahami supply chain dan proses bisnis,” ujar Vera. Menurutnya, semakin strategis peran dari tim komunikasi dan memahami proses bisnis perusahaan, maka PR akan dilibatkan dalam CMT.
Meski demikian, Vera meyakini bahwa di balik terjadinya krisis dan bahaya, ada kesempatan untuk meningkatkan kualitas, merespons cepat dan tanggap, memperbaiki kinerja dan prosedur operasional, hingga menyelesaikan masalah pelik.
Bahkan, jika perusahaan mampu melewati badai krisis, dapat membuat peluang, kolaborasi, serta mekanisme bisnis baru yang menguntungkan pelanggan. “Yang pasti, pada saat terjadi krisis ada framework proaktif, responsif, dan pemulihan. Responsif di sini berarti harus bergerak cepat,” katanya seraya menambahkan sudah menjadi tugas PR untuk bisa lebih berempati dan memengaruhi para pembuat keputusan agar tidak segan mengatakan maaf.
7 SOP
Di hadapan para peserta, Vera lantas membagikan tujuh langkah SOP isu dan krisis yang ia tuangkan dalam selembar kanvas. Pertama, pada saat terjadi krisis, PR harus mampu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. PR bisa membuat pengantar prolog yang dilengkapi dengan latar belakang krisis secara tepat, tanpa menggunakan jargon. Sebaliknya, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam.
Kedua, menentukan anggota serta peran CMT secara detail. Pada saat krisis, PR harus memperingatkan timnya melalui berbagai kanal komunikasi. Seperti hanya WhatsApp Group, Telegram, maupun phone tree.
Ketiga, prosedur dan instruksi pemberitahuan. Vera rutin meminta kepada klien dan perusahaannya untuk melakukan latihan prosedur pemberitahuan dari CEO hingga dua level di bawah CEO. Keempat, menyimpan nomor kontak darurat. Contoh, ambulans, pemadam kebakaran, pemimpin redaksi media, dokter spesialis, dan lain sebagainya. “Sering kali krisis terekskalasi karena kontak darurat tidak dipersiapkan atau belum diperbaharui,” katanya.
Kelima, mengembangkan solusi potensial dengan menentukan strateginya. Keenam, mengimplementasikan solusi dengan cara mengomunikasikan kepada pemangku kepentingan kunci dengan menyusun draf standby statement baik untuk disampaikan kepada karyawan, media, pemerintah, dan pelanggan.
Terakhir, lakukan review untuk mengetahui apakah langkah yang kita ambil sudah benar, pesannya sudah sesuai, hasil ultimate outcome, apakah bisa teratasi dengan baik, sudah berjalan dengan baik. Strategi apa yang salah, harus diperbaki, dilanjutkan, atau bahkan dihentikan. (ais)