Di era post-truth, praktisi public relations (PR) menghadapi tantangan yang cukup serius. Mengapa?
BALI, PRINDONESIA.CO – Menurut Junanto Herdiawan, Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), hal ini dikarenakan era post-truth menyebabkan masyarakat lebih menyukai pembenaran dibandingkan kebenaran itu sendiri. Audiens seakan-akan hidup dalam sebuah kepercayaan dan pembenaran.
“Bahkan, jika sebuah fakta dihadirkan, hal tersebut masih dipertanyakan keasliannya,” kata pria yang didapuk sebagai pengisi materi dalam workshop JAMPIRO bertema “Strategi dan Manajemen Krisis Pascapandemi” di Bali, Kamis (9/12/2021).
Pada masa seperti ini, Junanto melanjutkan, salah satu hal bisa menyelamatkan instansi/korporasi saat berhadapan dengan krisis adalah kredibilitas. Bentuk kredibilitas yang dimaksud ini tidak hanya berupa persepsi baik atau posistif terhadap suatu produk. Lebih dari itu, mengarah ke pemberian rasa percaya untuk mengatur situasi.
Dahulu, kepercayaan ini mungkin kuat dan dapat digunakan untuk menilai suatu produk tersebut berharga atau sebaliknya. Contoh, kredibilitas Bank Indonesia. Dengan kuasa dan rasa percaya terhadap BI yang mengeluarkan uang kertas rupiah. Pada dasarnya uang sama seperti hal barang yang lain, terbuat dari kertas. Namun, lembaran-lembaran uang kertas dari BI ini menjadi berharga karena dikeluarkan oleh BI yang memiliki kredibilitas terjamin.
Untuk mencapai kredibilitas sampai pada titik tersebut, BI perlu meyakinkan banyak pihak bahwa rupiah itu berharga dengan berbagai cara. Sebagai contoh, BI menunjukkan usaha-usaha yang telah mereka lakukan untuk menguatkan rupiah atau menggiatkan kembali penggunaan rupiah.
Tiga Pilar
Sementara itu, dalam menghadapi era post-truth, BI membuat strategi untuk mempertahankan dan menjaga kredibilitas instansi. Strategi itu ditopang oleh tiga pilar utama meliputi pilar mengelola ekspektasi, memperkuat literasi, serta meningkatkan transparansi dan responsibilitas.
Pilar pertama, mengelola ekspektasi menjadi isu yang paling tidak pasti apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Perubahan yang begitu dinamis selama pandemi membuat ekspektasi menjadi sulit untuk ditentukan dan diwujudkan. Namun, ekspektasi bisa diarahkan dengan membangun rasa percaya.
Menurut Junanto, menanamkan kepercayaan adalah ekspektasi yang bisa diharapkan dan dibentuk oleh perusahaan/instansi. Bahwa lembaga atau perusahaan yang bersangkutan mampu menjaga dan menjalankan tupoksinya dengan benar serta bertanggung jawab.
Pilar kedua, memperkuat literasi. Literasi berkaitan erat dalam menciptakan kredibilitas. Audiens perlu mengenal dan mengetahui suatu perusahaan. Mereka perlu diberikan pemahaman tentang apa yang menjadi tanggung jawab perusahaan. Serta, lebih mengenal mengenai perusahaan itu sendiri. Literasi ini bisa berupa informasi berkelanjutan tentang bagaimana perusahaan mengatasi masalah yang berkaitan dengan perusahaan itu sendiri.
Pilar selanjutnya adalah meningkatkan transparansi dan responsibilitas. Sebagai lembaga independen dan memiliki wewenang besar, BI harus secara transparan menyampaikan mengenai apa saja yang publik perlu tahu. Terutama, terkait sejumlah isu yang berpotensi krisis. Untuk itu, BI perlu memiliki kemampuan merespons dengan cepat dan tepat. “Audiens harus sesegera mungkin mendapatkan kepastian bahwa BI take control terhadap masalah yang terjadi,” ujarnya, tegas.
Kesimpulannya, kata Junanto, kredibilitas dapat menjadi kunci yang tepat ketika berhadapan dengan krisis. Untuk itu, PR harus mampu menciptakan kepercayaan agar audiens percaya bahwa lembaga/korporasi itu kompeten dan bertanggung jawab. (iaa)