Ada kalanya teknologi digital mengakibatkan komunikasi destruktif seperti hoaks dan clickbait. Sudah seharusnya praktisi humas dan media massa bisa bekerja sama lebih erat dalam menghadapi musuh yang sama, yaitu disinformasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Isu ini mengemuka pada webinar Media Labs “Quo Vadis Jurnalisme VS Korporasi di Era Digital" yang diadakan virtual, Kamis (23/9/2021). Kemajuan teknologi digital sepatutnya memajukan komunikasi yang ada bukan justru menjadikannya bersifat destruktif.
CEO Media Labs Dudy S. Takdir menegaskan bahwa pihak korporasi harus cekatan dan kreatif dalam kondisi seperti saat ini. “Kalau tidak, Anda akan terbawa arus disinformasi,” katanya.
Dirjen Informasi & Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong mengatakan, pemerintah saat ini sedang melakukan transformasi digital agar terjadi pemerataan akses digital di seluruh Indonesia. Dengan pemerataan itu, pemerintah berharap terjadi komunikasi yang menghidupkan. Yakni, komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan kritis.
Sementara Head of Media Communication and Relation Support PT Pertamina Hulu Mahakam Kristanto Hartadi mengatakan, korporasi harus rajin melakukan mitigasi pemberitaan. “Pihak korporasi juga harus menyadari bahwa saat ini teknologi digital telah membawa berbagai perubahan pola kerja media massa saat ini. Sehingga, perlu diantisipasi dengan saksama,” ujarnya.
Pernyataan ini diamini Corporate Communications and Community Development Group Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk Dwimawan Heru. Heru menambahkan tentang konsep buku tabungan media monitoring. Contoh, apabila ada satu berita negatif berarti di rekening terdebet satu poin. “Nah, kita harus memberikan sembilan berita positif agar ada kredit plus sembilan di buku tabungan kita,” ujarnya.
Bagi Heru, the best way to respond the news is yesterday. “Bukan 2 atau 3 jam kemudian,” ujarnya. Artinya, staf humas seharusnya bisa lebih cepat ketimbang berita itu sendiri. Dengan kata lain, kita harus mengantisipasi sebelum berita muncul.
Keresahan yang Sama
Keresahan terhadap perkembangan teknologi digital yang mengarah ke hal yang negatif juga dirasakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI). Ketua AMSI Jakarta Erik Somba mengatakan pihaknya selalu berusaha meningkatkan kemampuan teman-teman anggota AMSI. “Bukan hanya dari sisi kode etik jurnalistik, tapi juga dari sisi bisnis, agar mereka tidak terlalu tergantung dengan iklan-iklan pemda,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Validnews.id ini.
Ketua Komisi Kerja Sama Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo mengingatkan pihak korporasi agar tidak melihat algoritma sebagai patokan untuk beriklan. Justru, algoritma dalam beberapa tahun belakangan ini memberikan dampak buruk bagi brand. “Beberapa brand besar di luar negeri bahkan pernah memboikot YouTube akibat iklannya terasosiasi dengan ISIS dalam sebuah konten,” tutur Agus.
Sementara Sari Soegondo, Wakil Ketua APPRI (Asosiasi Perusahaan PR Indonesia), menyayangkan kegagapan yang masih kerap terjadi pada pihak korporasi. “Mereka sadar bahwa saat ini sedang menuju digital, tapi masih meminta berita naik di media cetak,” kata perempuan yang menjabat sebagai CEO dan co-founder ID COMM PR Agency ini.
Sari juga menyarankan kepada para pimpinan perusahaan untuk melakukan pelatihan media. Sehingga, mereka paham bukan hanya menghadapi media, tapi juga bagaimana bersikap di media sosial mereka sendiri.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum PERHUMAS Agung Laksamana menggugah para praktisi humas di kondisi seperti sekarang untuk memiliki sense of crisis dan melakukan personalisasi. Dengan begitu, komunikasi menjadi efektif dan memberi dampak. “Humas harus pintar melihat siapa targetnya. Pesan juga harus dipersonalisasi,” ujar pria yang kini menjabat sebagai EVP External Affairs and Government Relations Freeport Indonesia ini. (rvh)