Di era dan kondisi apapun, isu tentang pemimpin dan kepemimpinan selalu seksi. Menarik untuk dibahas, diperbincangkan, dan tentu saja dipelajari. Terlebih di masa pandemi. Seorang pemimpin tiba-tiba melambung sorotannya dari publik. Pemimpin yang memiliki karakter, sikap, dan positioning kuat, akan mampu mengambil kebijakan yang tepat dan relevan dengan situasi dan kondisi terkini. Karenanya, menjadi pemimpin sekaligus merawat kepemimpinan adalah pekerjaan yang sangat tidak mudah.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Pantaslah jika pemimpin punya tugas besar dan mulia. Hanya orang-orang yang kuat secara fisik dan batin, akan mampu menjadi pemimpin yang hebat. Secara fisik, pemimpin harus mengelola sumber daya kepemimpinannya maupun organisasinya setiap saat, nyaris tanpa henti. Hal demikian sungguh melelahkan.
Secara batin, pemimpin harus memiliki pertahanan moral yang tangguh. Supaya tidak mudah tergoda oleh hiruk pikuk urusan yang tidak relevan dengan kepemimpinannya. Itulah sebabnya, setiap pemimpin butuh jiwa kepemimpinan yang kuat.
Pemimpin yang baik dan amanah senantiasa akan memegang kepentingan lebih besar bagi organisasinya ketimbang kepentingan pribadi. Godaan untuk hal ini jelas begitu banyak. Karenanya, pemimpin harus punya cara untuk mempertebal keimanannya agar tidak mudah terpengaruh dengan kepentingan personal sesaat.
Lebih jauh di depannya, seorang pemimpin seyogianya memahami betul ke mana arah tujuan yang hendak dicapai dari organisasi yang ia pimpin. Tujuan itulah yang akan membantu pemimpin mengelola strategi, taktik, metode, cara, dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meraihnya. Selalu mengingat dan merujuk pada tujuan, membuat pemimpin akan lebih mampu mengendalikan diri dari gangguan syahwat kekuasaan maupun finansial.
Pandemi telah banyak mengajarkan kepada kita betapa pentingnya pengendalian diri. Pemimpin yang tidak peka dan sensitif terhadap situasi sosial, akan mudah tersandung. Berbicara salah (blunder). Bertindak keliru. Atau membuat kebijakan yang tidak relevan bagi publik. Mengasah kepekaan akan membantu pemimpin berempati lebih sering dan makin dalam kepada masyarakat, yang pada gilirannya membuat kebijakan akan lebih bermakna.
Ajaran luhur dari Ki Hajar Dewantara patut selalu dihadirkan kembali untuk merawat kesadaran bagi pemimpin agar senantiasa berada di depan dalam upaya mewujudkan kepentingan orang-orang yang ia pimpin. Kepentingan publik yang ia kelola. Bahwa pemimpin berada di depan, bahkan paling depan, bukan justru di posisi paling belakang, tatkala memperjuangkan kepentingan lebih besar yang bakal dinikmati publik.
Keteladanan yang Mengering
Di antara begitu banyak isu kepemimpinan, salah satunya yang tersulit adalah memberikan keteladanan. Aspek keteladanan bahkan kadang kini sulit dicari. Semakin kering, ditelan hiruk pikuk dan kehebohan fatamorgana. Asketisme, semakin jauh untuk dipeluk. Perilaku zuhud kian sukar dicari di kalangan pemimpin.
Keteladanan adalah ikonik bagi pemimpin. Semakin sulit menjangkau keteladanan, pemimpin kian menjauh dari episentrum kepemimpinannya. Makin teralienasi dari orang-orang yang ia pimpin. Apalagi, jika ia meninggalkan jejak-jejak kesalahan yang harus dipikul orang lain. Harus ditanggung anak buahnya, padahal sang pemimpin yang bersalah. Cuci tangan dari kesalahan.
Padahal, tidak ada pemimpin baik yang menimpakan setiap kesalahan kepada orang-orang yang dipimpinnya. Kesalahan itu semestinya ia pikul, karena ia seorang pemimpin. Mengambil risiko kesalahan bukan hal mudah, ketika kematangan seorang pemimpin belum bertumbuh. Hanya para pemimpin yang sudah teruji yang mau dan mampu mengambil risiko kepemimpinannya.
Pada akhirnya, kehadiran sebuah organisasi adalah untuk mengupayakan keberlanjutannya di masa datang. Organisasi-organisasi yang besar, dibangun agar bisa hidup selama mungkin. Bisa berkembang dan tumbuh secara berkelanjutan. Memimpin tim untuk membangun metode dan cara mendukung keberlanjutan organisasi memerlukan keterlibatan pemimpin. Ia akan memberikan navigasi agar upaya yang ditempuh berada pada jalan yang tepat. Sehingga organisasi dan orang-orang di dalamnya, merasakan manfaat terbesar bernaung di dalamnya: sejahtera yang berdaya guna bagi lingkungannya. Asmono Wikan