Senin, 5 April 2021, menjadi hari bersejarah bagi dunia komunikasi di tanah air. Tepat pada hari itu, LSP Manajemen Komunikasi yang dinakhodai oleh Magdalena Wenas selaku founder ini menjadi LSP P3 Mankom pertama yang berlisensi BNSP.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Perjalanan LSP Mankom meraih lisensi ini memang terasa panjang. Sebab, awalnya mereka mengajukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) P1 untuk PR Society. Setelah mendapat arahan dan pertimbangan dari berbagai pihak, termasuk BNSP, mereka pun mengganti haluan untuk meraih LSP P3 Manajemen Komunikasi. Menurut Magdalena Wenas yang merupakan founder PR Society Indonesia, langkah itu diambil tak lain bertujuan agar dapat memberikan kontribusi yang lebih luas bagi dunia komunikasi.
Ya, seperti yang pernah disampaikan oleh Ketua BNSP Kunjung Masehat, ada tiga tipe lisensi sertifikasi LSP. Tipe ini bukan menunjukkan peringkat atau urutan melainkan sebuah ekosistem. LSP P1 didirikan oleh oleh lembaga pelatihan dan pendidikan untuk peserta didik/pelatihannya. LSP P2 oleh departemen/korporasi untuk kalangan internal mereka. Sementara LSP P3 dibentuk oleh asosiasi industri atau asosiasi profesi untuk umum/nasional.
Setelah mengantongi Nomor Lisensi: BNS LSP-1926-ID, selanjutnya LSP Mankom yang berbasis Standar Kompetensi Kerja Khusus (SK3) dari Kementerian Ketenagarkerjaan RI dengan No KEP. 69/LATTAS/III/2018 itu pun dapat fokus mengejar mimpinya untuk mewujudkan para pelaku yang terlibat di industri komunikasi yang mampu bersaing, memiliki derajat pemahaman dan pengetahuan tentang komunikasi sesuai zamannya. Serta, mendorong mereka menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab, berintegritas dan sesuai etika. Sejalan dengan visi LSP Mankom, kompeten beretika.
Apalagi selama ini ada anggapan yang keliru tentang peran dan fungsi praktisi komunikasi. Profesi yang kerap diisi oleh mereka yang bukan berlatar pendidikan public relations atau Ilmu Komunikasi ini menyebabkan pelaku dan pengguna jasa tidak terlalu menganggap penting keberadaan sertifikasi profesi. Asalkan, memiliki jam terbang tinggi. Padahal, kondisi ini tak lagi relevan di era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Faktor ini pula yang melatarbelakangi Presiden RI Joko Widodo menerbitkan PP 83/2019 yang mengatur kewajiban penyedia jasa untuk memiliki dan mempekerjakan tenaga teknis yang kompeten, termasuk jasa komunikasi, yang dibuktikan lewat sertifikat kompetensi.
Indonesia Kompeten
Namun, Magdalena menggarisbawahi, kompetensi itu bukan saja soal skills, knowledge, dan pengalaman. Lebih dari itu, merupakan kesatuan kompetensi yang meliputi sikap, karakter, etika, dan pengembangan diri atau personal development. Di sisi lain, sertifikasi kompetensi juga bukan sekadar secarik kertas sementara pengetahuan dan kepribadiannya tidak dikembangkan. “Competence is a mindset to strive for excellence. Jika semua itu sudah terpenuhi, baru kemudian kita bisa bicara #IndonesiaKompeten,” ujar peraih gelar Master in Corporate Communication Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda ini.
Untuk mencapai objektif itu, LSP Mankom merancang Skema Manajer Komunikasi dengan delapan unit yang harus dipenuhi para peserta ketika akan mengikuti uji kompetensi LSP P3 Mankom. Terdiri dari, pertama, menjaga kualitas manajemen komunikasi dan reputasi korporasi. Kedua, mengidentifikasi faktor kegagalan manajemen komunikasi internal. Ketiga, mengelola manajemen komunikasi dengan penyesuaian budaya cross culture communication.
Keempat, menerapkan green PR sebagai tanggung jawab sosial korporasi yang beretika. Kelima, menjalankan sistem manajemen audit sesuai dengan strategi situasional korporasi. Keenam, menentukan kategori risiko dengan memperhatikan dampak kemungkinan krisis dan pengaruh yang dapat ditimbulkannya. Ketujuh, melakukan penanganan konflik dan krisis bisnis. Dan, terakhir, menjalankan program bisnis dalam rangka menjaga keberlanjutannya, atau business continuity management (BCM). (rtn)