Di saat banyak perusahaan yang tumbang di tengah pandemi COVID-19, tak sedikit brand yang justru memanfaatkan krisis multidimensi ini sebagai momentum untuk riding the wave. Terutama, dalam membangun reputasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Menurut Jojo S Nugroho, Ketua Umum APPRI, saat mengisi webinar bertajuk “Digital Platform for Effective Corcomm and Marcomm”, Kamis (29/4/2021), pencapaian tersebut tidak terlepas dari ketangguhan tim komunikasi dalam menjaga reputasi korporasi selama krisis pandemi.
Jojo berpendapat, salah satu caranya adalah pandai menangkap peluang dan membangun digital storytelling yang relevan dengan stakeholders mereka. Lalu, dengan lihai mendistribusikan pesan dan ceritanya itu dengan memanfaatkan berbagai medium komunikasi. Mulai dari YouTube, Instagram, Zoom, hingga TikTok.
Ya, sudah menjadi rahasia umum storytelling merupakan bumbu rahasia kesuksesan PR dalam berkomunikasi. Memang terkesan mudah diucapkan. Tetapi faktanya, dibutuhkan keahlian khusus untuk menciptakan narasi yang mampu bercerita. Jika PR mampu melakukan ini, maka dampak dari keberadaannya bukan hanya dirasakan bagi reputasi organisasi. Tapi juga meningkatkan penjualan/sales di masa krisis, lingkungan, hingga bangsa.
Tips
Tipsnya, PR harus mampu menciptakan kampanye komunikasi yang bertanggung jawab (responsible communication campaign). Caranya, pertama, menjadi brand yang bermanfaat. Meskipun di tengah masa krisis, brand yang mampu bertahan akan senantiasa membantu stakeholders-nya.
“Mereka percaya bahwa saat ini bukan waktunya bagi brand untuk menghilang. Sebaliknya, justru waktunya mereka untuk muncul di hadapan publik, memberi kontribusi, menggunakan semua sumber daya dan kreativitas untuk membuat perubahan,” ujar Principal Imogen Communication Institute (ICI) itu.
Kedua, kolaborasi adalah mata uang baru. Karena di dalam kolaborasi terdapat kekuatan untuk bersama-sama membantu masyarakat dan saling menguatkan stakeholders. Ketiga, fokus pada solusi. Contoh, Move in Quickly besutan Sinarmas Land. Program yang memberikan keringanan harga bagi konsumen untuk pembelian properti. Serta, kegiatan edukasi yang dilakukan Stimuno terkait imunomodulator. “Di saat-saat sulit seperti ini, brand tidak melulu harus jualan. Mereka dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat,” katanya.
Keempat, berkomunikasilah dengan empati, kasih sayang, disertai fakta. Ketika PR mampu berkomunikasi dengan empati, mereka dapat menenangkan dan memenangkan hati masyarakat dan karyawan internal. Kelima, paid, earned, shared, owned media (PESO) menjadi rumus PR 4.0 di masa pandemi. Yakni, bagaimana PR bisa memberikan dampak meski minim anggaran.
Penutup, untuk bisa bertahan di masa pandemi, PR harus adopt, adapt, dan adept. Yakni, mengadopsi teknologi komunikasi yang baru, beradaptasi dengan perubahan, dan mahir dalam keahlian komunikasi. (ais)