Di zaman yang serba terbuka, transparan, dan bergegas, mengukur suatu upaya dan pencapaian, menjadi begitu teramat penting. Menjadi sebuah “nilai” yang harus diperoleh. Dengan cara dan alat ukur yang tepat, setiap upaya yang dilakukan organisasi atau korporasi, menjadi lebih mudah dievaluasi, untuk menyusun rencana tindak lanjut yang lebih optimal.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dalam kosmologi masyarakat Jawa, “mengukur” adalah sebuah frasa yang penting. Ada pepatah klasik Jawa: “Ojo rumongso iso, nanging iso rumongso.” Jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa. Makna kalimat itu sekilas bisa negatif, karena membatasi seseorang untuk menunjukkan kompetensi dan eksistensinya. Namun jika diselami lebih dalam, sejatinya bermakna rendah hati. Sebuah sikap introspeksi diri sebelum menyambut tantangan lebih besar.
“Mengukur” (diri) lalu menjadi–sekali lagi—teramat penting bagi setiap orang. Jika ia merasa belum mampu, tentu meningkatkan kompetensi dan keahlian, serta pengalaman, menjadi pilihan yang tepat untuk dilakukan. Begitu pula dengan setiap pekerjaan. Ketika dirancang, sebuah program atau pekerjaan, seyogianya telah mendasarkan pada tujuan yang hendak dicapai. Sekaligus berupaya menciptakan dampak (positif) yang diharapkan. Baik untuk kepentingan pemilik program (organisasi/korporasi), maupun bagi pemangku kepentingan yang terdampak program.
Begitu pula di dalam industri public relations (PR). Mengukur keberhasilan setiap program PR hingga tahap dampak (outcomes), adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari lagi. Karena setiap rupiah anggaran program, bermakna sangat penting jika memberi dampak pada pekerjaan yang dilakukan.
Kurang Tepat
Sudah teramat lama praktisi PR di negeri ini “terlena” oleh metode pengukuran PR yang berbasis Advertising Value Equivalency (AVE). Volume pemberitaan di media atas hasil sebuah program PR yang dikalikan dengan harga iklan, dijadikan ukuran keberhasilan atau kegagalan. Padahal media yang memberitakan kegiatan, bukanlah target audiens dari program yang dijalankan. Sementara, dampak program pada audiens, justru tidak pernah diukur. Jarang sekali dievaluasi.
Harus diakui, penggunaan alat ukur AVE masih jamak dilakukan praktisi PR. Bahkan sering dituntut oleh CEO. Ada banyak CEO di Indonesia yang sudah sangat puas program PR korporasi atau organisasi mereka muncul dalam pemberitaan di media arus utama. Menempati halaman-halaman depan alias headline media cetak dan media online. Berada di program yang rating pemberitaannya tinggi di media penyiaran. Tapi mereka lupa, bahwa tujuan program itu adalah antara lain, mengubah perilaku audiens (masyarakat). Bukan semata menjadi konsumsi publisitas media.
Isunya sangat sederhana. Pendekatan AVE, jauh lebih mudah dilakukan. Sekaligus sebagai “ukuran” bagi keberhasilan kerja media relations antara tim PR dengan pekerja dan pemilik media. Di sini jelas tidak ada yang salah. Hanya saja, sangat kurang. Ada yang menggantung: tujuan pengukuran belum selesai.
Oleh sebab itu, saatnya pengukuran sebuah program dikembalikan kepada tujuan dari program itu dikerjakan. Mengukur dampak program bagi audiens yang menjadi target komunikasi sekaligus dampaknya bagi tujuan organisasi. Adalah AMEC Integrated Evaluation Framework, sebuah kerangka kerja pengukuran dan evaluasi program PR yang jauh lebih komprehensif, kini bisa menjadi pedoman setiap praktisi PR.
AMEC, membuat organisasi/korporasi mampu menempatkan diri sebagaimana penggalan pepatah klasik Jawa di atas: “iso rumongso”. Mendorong organisasi dan korporasi untuk bisa merasa, bahwa metode pengukuran program PR mereka selama ini dengan menggunakan metode AVE sejatinya kurang tepat. Untuk tidak mengatakan keliru. Tabik! (Asmono Wikan)