Memasuki bulan Maret 2021, genap sudah satu tahun pandemi COVID-19 akhirnya diakui sebagai pil pahit yang semula disangkal. Awalnya virus ini menjadi bahan candaan, dikomentari tidak serius, bahkan dibantah kalangan pengambil keputusan.
Oleh: Noke Kiroyan, Chairman & Chief Consultant KIROYAN PARTNERS
JAKARTA, PRINDONESIA,CO - Kegamangan di awal mungkin dapat dimaklumi. Sebelumnya dunia juga pernah dilanda pandemi dahsyat yang disebut “Flu Spanyol”. Terjadi lebih dari seratus tahun lalu (1918). Pandemi ini merajalela selama dua tahun lebih. Sepertiga penduduk dunia waktu itu tertular. Jumlah kematian akibat penyakit ini diperkirakan antara 20 – 50 juta orang, bahkan ada perkiraan mencapai 100 juta jiwa. Jumlah pasti tidak pernah diketahui. Sudah satu abad berlalu tidak ada memori yang tersisa tentang masa itu, jadi kita “mulai dari nol”.
Kembali ke kondisi saat ini, secara internasional Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menuai pujian dari segenap penjuru dunia karena penanganannya yang tegas tetapi manusiawi. Komunikasi publiknya tanpa cela. Pandemi dapat diatasi dan kehidupan di negara tersebut pada tahun 2021 sudah nyaris normal kembali.
Begitu ada konfirmasi tentang masuknya virus COVID-19 ke Selandia Baru, pemerintah segera memberlakukan lockdown total. Komunikasi publik dijalankan tanpa henti. Pesannya jelas, konsisten, dan mudah dipahami. Informasi membanjiri masyarakat melalui billboard, spanduk, media sosial, pamflet, dan brosur. Memberikan pedoman terarah. Setiap sore Perdana Menteri Jacinda Ardern dan Direktur Jenderal Kesehatan memberikan pemutakhiran situasi dengan pesan kunci “Stay Home – Save Lives” (Di rumah saja – selamatkanlah nyawa). Meski kondisi geografis, ekonomi, dan pendidikan Indonesia dengan Selandia Baru jelas berbeda, pelajaran terpenting yang dapat dipetik dari mereka adalah komunikasi publik yang mendapat perhatian besar dari pemerintahnya.