Setelah menanti setahun lamanya, akhirnya pada hari Selasa (11/2/2021), PR INDONESIA dapat mengenal lebih dalam sosok Fajriyah Usman. Ya, sebenarnya agenda wawancara dengan perempuan yang merupakan VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) itu sudah terencana pada awal Maret 2020. Namun, siapa yang menyangka, dua hari setelahnya, Presiden RI Joko Widodo mengumumkan dua kasus positif COVID-19 pertama di Indonesia. Semenjak saat itu, semua pihak fokus menyesuaikan diri, termasuk Fajriyah beserta jajarannya di Pertamina.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Pada kesempatan ini, Fajriyah bercerita mengenai dinamika dan pengalamannya mengelola komunikasi Pertamina selama pandemi. Menurutnya, pandemi justru menjadi momentum bagi Divisi Corporate Communication Pertamina untuk melakukan banyak transformasi dan inovasi dalam berkomunikasi.
Selain soal mengola komunikasi di masa pandemi, perjalanan karier Fajriyah juga tak kalah menarik untuk disimak. Sebelum menjadi nakhoda Corcomm Pertamina, Fajriyah merupakan Direktur Utama PT Elnusa Trans Samudera, anak usaha PT Elnusa Tbk. Ia juga berpengalaman sebagai Head of Investor Relations dan VP of Corporate Secretary PT Elnusa Tbk. Namun, jika ditarik jauh ke belakang, pengalaman sebagai guru Bahasa Inggris tak kalah berjasa membangun kepercayaan diri dan mengasah kompetensinya dalam berbicara di depan umum. Kepada Ratna Kartika dan Aisyah Salsabila dari PR INDONESIA, ia berkisah.
Apa kabar? Sehat?
Sehat, alhamdulillah.
Sudah setahun pandemi berlangsung. Sejauh mana pandemi ini berdampak bagi Pertamina?
Pandemi pastinya memberikan dampak yang cukup signifikan, tidak hanya bagi Pertamina, sektor energi, tapi juga seluruh industri di Indonesia, hingga dunia. Bahkan, sepanjang pandemi tahun 2020, sektor migas mengalami yang namanya triple shock. Pertama, adanya penurunan permintaan (demand) yang luar biasa terutama semenjak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di mana hampir semua orang beraktivitas dari rumah. Di kota-kota besar, penurunannya bisa mencapai 50 persen. Secara rata-rata, demand sektor energi mengalami penurunan sekitar 25 persen dalam setahun.
Kedua, fluktuasi harga minyak dunia yang sempat mencapai titik terendah di bulan April dan Mei 2020. Kondisi ini pastinya berdampak kepada seluruh perusahaan energi global, khususnya sektor migas. Ketiga, nilai tukar rupiah terhadap dolar yang sempat mengalami depresiasi. Kondisi ini sangat berpengaruh bagi Pertamina me/ngingat sebagian besar pengeluaran/biaya (cost) Pertamina dalam dolar, tetapi pendapatannya dalam rupiah sehingga menyebabkan adanya gap.