Pemahaman praktisi public relations (PR) terhadap digital cenderung masih sebatas alat untuk berkomunikasi. Atau, ribet karena harus berurusan dengan perangkat teknologi tingkat tinggi. Benarkah demikian?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Padahal, menurut VP of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak saat mengisi sesi MAW Talk Episode #26, “Digital PR: Kultur atau Tutur?", Jumat (19/3/2021), di era saat ini digital merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas PR. Dan, tidak hanya berlaku bagi PR yang berkecimpung di industri teknologi, tapi PR dari industri manapun.
Keberadaan teknologi dapat dimanfaatkan oleh pelaku PR untuk mendengarkan percakapan. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, keahlian mendengarkan atau listening skill menjadi sangat krusial. Tak lain untuk merespons perubahan isu dalam hitungan menit.
Kalau teknologi dibilang ribet apalagi mahal, Aini, sapaan karib Nuraini, tidak sependapat. Semuanya kembali lagi kepada target/objektivitas komunikasi yang ingin dicapai. Saat ini ada banyak tools untuk mendengarkan percakapan di media yang dapat dimanfaatkan secara cuma-cuma alias gratis.
Pelaku PR juga dapat memantau berbagai obrolan yang beredar di media sosial terkait brand bersangkutan, kompetitor, hingga tren yang sedang berkembang. Dengan demikian, PR dapat memperoleh data secara real-time, tanpa perlu repot membuat kliping dari media cetak. “Intinya, lakukan perubahan itu sedikit demi sedikit. Mulai dari hal-hal kecil," ujarnya.
Ia melanjutkan, “Alhasil, PR dapat menjalankan tugas dan fungsinya menjadi lebih efisien,” ujarnya seraya mengaku tak dapat membayangkan jika harus kembali ke zaman sebelum pandemi, apalagi ketika teknologi belum berkembang sepesat sekarang.
Pemanfaatan teknologi digital juga membuat kerja PR makin efektif. Terutama dalam menentukan tujuan, strategi dan taktik komunikasi. “Media monitoring dan social media listening dapat memberikan arahan kepada PR untuk membuat konten yang relevan," katanya.
Belum lagi kalau kita bicara soal pemanfaatan teknologi big data dan artificial intelligence (AI). Keberadaannya dapat membantu proses menganalisis suatu brand menjadi lebih cepat dan mudah. Keberadaan teknologi juga memudahkan PR untuk dapat mengukur efektivitas komunikasi lebih akurat. Pada akhirnya, membantu PR untuk memberikan respons yang lebih baik dan tepat.
Saat ini, kata Aini, di saat teknologi informasi dan komunikasi sudah berkembang sedemikian pesat, semuanya menjadi jauh lebih kompleks. Setiap orang orang dapat dengan bebas menyampaikan pendapat. “Pendapat mereka ini harus kita dengar dan mampu kita ukur. Sehingga, kita tahu kapan harus merespons. Dan, tepat ketika memberi respons," ujarnya.
Lainnya yang menjadi catatan Aini, apa pun kanal komunikasinya, konten tetap menjadi kekuatan yang paling utama. “Dengan mengedepankan metode storytelling, PR harus mampu membuat konten atau narasi yang kuat agar mendapat tempat di hati audiens,” tutupnya. (ais)