Di era digital, hoaks menjadi musuh bersama. Keberadaannya mampu mengguncang persepsi dan mempertebal keyakinan, meski sebenarnya keyakinan itu salah. Tanpa memerlukan gencatan senjata, efek hoaks mampu memecah belah suatu bangsa.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Hoaks telah menjadi isu abadi. Bagi Muslim, keberadaan hoaks sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, peringatan terhadap bahaya hoaks ini sudah tertulis di Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 6 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah.”
Seiring berjalannya waktu, hoaks berkembang mengikuti perkembangan zaman. Dari yang awalnya diciptakan sebagai bentuk protes hingga tiba masanya di era baru, digitalisasi. Era di mana hoaks dengan adanya keberadaan kecerdasan buatan dan big data mampu menyusup secara terstruktur, terencana, dan terus-menerus. Tujuan hoaks dibuat pun beragam mulai dari kepentingan ekonomi hingga memecah belah suatu bangsa.
Terstruktur dan Terencana
Apalagi semenjak hadirnya media sosial. Platform ini menjadi salah satu medium penyebaran hoaks yang paling ampuh menggoyahkan “iman” karena mampu menimbulkan efek ruang gema—kondisi di mana seseorang hanya mau mendengar sesuatu yang sudah sepemikiran.