Catatan Akhir Tahun Dewan Pers: Kemerdekaan Pers dan Keberlanjutan Media
PRINDONESIA.CO | Kamis, 31/12/2020 | 1.381
Catatan Akhir Tahun Dewan Pers: Kemerdekaan Pers dan Keberlanjutan Media
Meskipun juga terdampak oleh krisis ekonomi, pers nasional tetap berhasil mengemban perannya.
Dok. Istimewa

Oleh: Ketua Dewan Pers Mohammad NUH

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Masyarakat senantiasa membutuhkan informasi memadai tentang pandemi COVID-19 yang dapat menjadi pijakan untuk menilai situasi dan memutuskan tindakan antisipatif. Di sinilah, media massa semestinya berperan besar.

Meskipun juga terdampak oleh krisis ekonomi, pers nasional tetap berhasil mengemban perannya. Melalui pemberitaan, sikap editorial dan iklan layanan masyarakat, Pers Indonesia telah berkontribusi nyata dalam upaya seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama menanggulangi pandemi COVID-19 pada tahun 2020.

Pada pengujung tahun 2020 ini, Dewan Pers menyampaikan apresiasi terhadap pers nasional Indonesia. Juga, kepada semua pihak yang telah berkontribusi terhadap pelembagaan dan pengembangan kemerdekaan pers dan profesionalisme media di tanah air.

Dewan Pers mengucapkan terima kasih atas komitmen pemerintah untuk memberi insentif ekonomi untuk industri media nasional yang sedang menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19. Salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah program Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku yang melibatkan 4.300 wartawan dari seluruh Nusantara.

Sebagai upaya untuk mengarusutamakan perubahan perilaku dan disiplin melaksanakan protokol kesehatan kepada seluruh masyarakat, program ini merupakan kerjasama antara Satgas Penanganan COVID-19, Dewan Pers dan konstituen pers nasional. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Presiden, Bapak Wakil Presiden dan Bapak Ketua Satgas Penanganan COVID-19 yang telah mendukung program ini.

 

Dua Persoalan

Secara umum ada dua persoalan yang sedang dihadapi pers Indonesia saat ini. Pertama, persoalan pada aras keberlanjutan media. Kedua, persoalan pada aras profesionalisme media dan perlindungan terhadap pers. Pada aras keberlanjutan media, pers Indonesia dihadapkan pada masalah tekanan disrupsi yang muncul bersamaan dengan semakin kuatnya penetrasi bisnis perusahaan platform digital di Indonesia dan di negara lain.

Berkat kekuatan teknologi, modal dan jaringan yang dimilikinya, platform digital semakin mendominasi ranah media, semakin berpengaruh terhadap kehidupan publik dan memperoleh pendapatan iklan yang semakin besar dan menggeser kedudukan media massa konvensional.

Dalam konteks ini, perlu dirumuskan aturan main yang lebih transparan, adil dan menjamin kesetaraan antara platform digital dan penerbit media. Dibutuhkan regulasi yang memungkinkan koeksistensi antara media lama dan media baru, yang sebenarnya saling membutuhkan. Dibutuhkan ekosistem media yang memungkinkan para penerbit profesional untuk memperoleh hak atas karya jurnalistik yang telah diproduksinya. Dalam konteks ini, pemerintah, asosiasi media, para penerbit dan Dewan Pers dapat belajar dari politik regulasi tentang platform digital di negara lain.

Masih pada aras keberlanjutan media, krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19 telah memukul daya hidup banyak media massa. Akibat menurunnya pendapatan, banyak perusahaan media merampingkan manajemen, melakukan PHK karyawan, atau mengurangi gaji karyawan. Secara umum kesejahteraan wartawan menurun karena terjadi penurunan pendapatan perusahaan media dan semakin berkurangnya khalayak yang bersedia mengeluarkan uang untuk “membeli” informasi yang disajikan media.

Efisiensi karena krisis ekonomi membuat banyak media kehilangan wartawan terbaik. Dengan keterbatasan SDM, maka kualitas pemberitaan yang dihasilkan dikhawatirkan juga mengalamai penurunan. Hal ini dapat berujung pada turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media massa. Sementara pada sisi lain, arus informasi yang tersaji di media sosial mengalir tanpa standar etika yang tegas sehingga dalam banyak kasus membingungkan masyarakat, bahkan cenderung memecah-belah.

Dalam konteks ini, insentif negara untuk industri pers nasional sangat mendesak untuk diterapkan. Komitmen Presiden Joko Widodo untuk memberikan insentif ekonomi untuk pers nasional mesti segera ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan atau petunjuk teknis sehingga dapat benar-benar diterapkan. Keringanan pajak, tarif listrik, biaya perijinan dan jaminan sosial yang dijanjikan pemerintah sangat ditunggu perwujudannya dan akan sangat membantu pers nasional dalam menghadapi krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Sebagaimana sering dinyatakan pemerintah, pers adalah garda depan upaya penanganan COVID-19. Pers juga merupakan pilar penting demokrasi dan perwujudan pemerintahan yang bersih dan transparan. Maka, menyelamatkan nasib pers dalam situasi sekarang ini merupakan investasi untuk masa kini sekaligus untuk masa depan bangsa Indonesia.

Berhadapan dengan krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19, kebijakan penghematan anggaran dan perampingan manajemen menjadi pilihan yang sulit dihindari oleh perusahaan media. Langkah PHK karyawan di tempuh beberapa perusahaan media. Dewan Pers menaruh harapan besar agar perusahaan media dapat segera keluar dari situasi krisis dan dapat mempertahankan eksistensi dan kualitas jurnalismenya.

Terkait dengan kebijakan pengurangan atau PHK karyawan, kami berharap dapat dilaksanakan dengan hati-hati dan bijaksana, dengan mengedepankan penyelesaian kekeluargaan, serta dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang ada. Kami meyakini wartawan dan seluruh karyawan adalah aset penting bagi perusahaan media yang mengedepankan nilai-nilai jurnalisme, kemanusiaan dan demokrasi.

 

“Free On-Line Culture”

Tantangan berikutnya adalah kecenderungan masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan cepat, mudah, dan gratis. Free on-line culture merupakan kebaruan yang dibawa digitalisasi. Layanan daring seperti mesin pencari dan media-sosial dapat diakses secara bebas. Kita dapat memperoleh informasi, pengetahuan, hiburan, dan jejaring secara cuma-cuma di sana.

Para pengguna didorong untuk berkontribusi pada budaya berbagi secara daring itu dengan membagikan apapun di ruang digital. Maka terbentuklah ekosistem digital di mana karya, kekayaan intelektual dan keahlian pemusik, penerjemah, wartawan, penulis, peneliti, media massa dan lain-lain diperlakukan sebagai “milik bersama” yang dapat diakses secara bebas. Kebebasan berinternet kemudian tidak bukan berarti kita dapat mengakses apa pun di dunia maya, melainkan juga bahwa kita dapat menikmati jerih-payah orang lain tanpa memberi imbalan apa pun.

Budaya baru itu memang menguntungkan platform digital yang dapat memanfaatkan dan memonetisasi konten pihak lain secara “cuma-cuma”. Demikian juga dengan para pengguna yang semakin terbiasa memperoleh segala rupa informasi secara gratis. Namun bagaimana dengan para wartawan atau penulis yang hidup dari penghargaan atas karya-karya mereka? Bagaimana dengan media massa yang harus membayar setiap jerih-payah wartawan dalam menghasilkan berita? Jika berita itu kemudian diagregasi dan disebarkan secara cuma-cuma, bagaimana masa depan wartawan, media massa dan institusi jurnalisme secara lebih luas?

Hal ini perlu menjadi pemikiran bersama, baik untuk kalangan media, platform digital, pemerintah maupun pembaca yang sering menyebarkan konten jurnalistik milik media secara daring tanpa memikirkan nasib media dan wartawan yang menghasilkan konten tersebut.

Pada aras profesionalisme media dan perlindungan terhadap pers adalah beberapa hal yang perlu disampaikan di sini. Pertama, tingginya angka pengaduan kasus pers ke Dewan Pers tahun 2020 menunjukkan dua hal sekaligus. Di satu sisi hal ini menunjukkan perkembangan positif, yakni semakin meningkatkannya kepercayaan publik terhadap mekanisme penyelesaian kasus pers berdasarkan UU Pers No. 40 tahun 1999.

Di sisi lain, tingginya angka pengaduan kasus pers itu juga mencerminkan ada yang perlu diperbaiki dalam jurnalisme kita, yakni ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Mayoritas kasus pemberitaan pers yang ditangani Dewan Pers berakhir dengan kesimpulan bahwa “telah terjadi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik oleh media massa yang diadukan”. Baik pelanggaran KEJ yang serius maupun yang ringan.

Kasus menonjol yang dihadapi Dewan Pers dalam hal ini adalah ketika 33 media massa siber terbukti telah menggunakan informasi yang tidak akurat, tanpa proses konfirmasi yang memadai terhadap sumber kunci sehingga melahirkan pemberitaan yang cenderung menghakimi terkait Keputusan PTUN tertanggal 3 Juni 2020 tentang keputusan Presiden dan Menkominfo memperlambat dan memutus akses internet di Papua tahun 2019.

Bertolak dari kasus semacam ini, Dewan Pers kembali mengingatkan kepada segenap pers Indonesia tentang pentingnya komitmen dan konsistensi untuk menaati KEJ. KEJ bagaimana pun adalah tolok ukur utama profesionalisme dan kualitas pers. Ketaatan terhadap KEJ adalah faktor yang menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap media massa.

Kedua, pada aras perlindungan pers, Dewan Pers mencatat masih terjadi pemidanaan terhadap pers dan kekerasan terhadap wartawan pada tahun 2020. Pemidanaan seorang wartawan atas karya jurnalistik yang dihasilkannya tentu merupakan preseden buruk bagi sistem kemerdekaan pers di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun, hal inilah yang terjadi terhadap Diananta Putra Sumedi, mantan Pemimpin Redaksi Banjarhits.id. Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan (Kalsel) telah menjatuhkan vonis penjara selama 3 bulan 15 hari kepada Diananta atas berita yang ditulisnya dan dipublikasikan di media siber kumparan.com, 4 Mei 2020.

Dewan Pers telah mengingatkan bahwa kasus Diananta adalah kasus pers yang semestinya diselesaikan berdasarkan mekanisme sebagaimana telah diatur dalam UU Pers No. 40 tahun 1999. Dewan Pers berharap kasus serupa tidak terjadi lagi. Faktor penentunya dalam hal ini koordinasi yang baik antara Kepolisian dan Dewan Pers, serta penghormatan terhadap apa yang telah ditetapkan dalam MOU Dewan Pers dan Polri.

Dewan Pers juga berharap kasus kekerasan terhadap wartawan sebagaimana terjadi dalam peliputan Demonstrasi UU Cipta Kerja tidak terjadi lagi. Aparat Keamanan perlu meningkatkan penghargaannya terhadap fungsi dan kerja jurnalistik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang.

Masalah ketiga yang muncul dalam konteks perlindungan pers adalah peretasan digital. Pada 22 Agustus 2020, situs Tempo.co mengalami peretasan sehingga tampilan lamannya menjadi hitam dengan sejumlah pesan yang menyudutkan redaksi. Di hari yang sama, sejumlah artikel Tirto.id terkait kontroversi penemuan obat COVID-19 yang menyinggung keterlibatan dua lembaga negara mendadak hilang.

Salah satu artikel kompas.com berjudul “Akun Twitter Ahli Edemiologi UI Pandu Riono Diretas” juga dihapus pihak yang tidak diketahui identitasnya pada 23 Agustus 2020. Detik.com juga mengalami gangguan peretasan pada periode yang kurang lebih sama. Dewan Pers menyesalkan rentetan peristiwa ini dan menganggapnya sebagai masalah serius bagi situasi kemerdekaan pers di Indonesia.

Dewan Pers juga mengutuk tindakan doxing yang dilakukan pihak tertentu kepada sejumlah wartawan belakangan ini. Tindakan penyebaran informasi pribadi wartawan secara publik dan tanpa seizin yang bersangkutan tentu merupakan sebuah kejahatan yang tidak dapat ditoleransi dan bertentangan dengan hukum. Pers atau wartawan bisa saja membuat kesalahan dalam pemberitaan maupun kegiatan peliputan hingga merugikan pihak tertentu. Namun, hendaknya semua pihak mempersoalkan kemungkinan kesalahan itu secara transparan berdasarkan mekanisme yang diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Semestinya semua pihak menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada teror atau pembungkaman. Dewan Pers berharap penegak hukum mengusut kasus kejahatan digital yang menyasar institusi dan individu pers tersebut agar tidak menjadi ancaman yang semakin sistemik terhadap kemerdekaan pers.

Pada akhirnya, Dewan Pers kembali mengingatkan pentingnya segenap unsur pers menjaga prinsip independensi, profesionalisme dan transparansi. Media massa dapat dipercaya untuk membela kebenaran, mengedepankan kepentingan publik, menjadi sarana untuk mencari jalan keluar persoalan bangsa sejauh pengelolanya senantiasa kredibel, akuntabel dan menjadikan etika media sebagai “panglima”.

Pers dapat tegak menjadi pilar keempat demokrasi jika pengelola media tidak mudah berpaling kepada kepentingan sendiri, kelompok, ataupun kepentingan uang. Media massa dapat menjadi bisnis yang berkelanjutan jika pengelola mampu beradaptasi dengan perubahan serta senantiasa berpijak pada prinsip-prinsip good corporate governance.

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI