Cara PR Menyikapi Konvergensi Media
PRINDONESIA.CO | Kamis, 24/12/2020 | 1.280
Cara PR Menyikapi Konvergensi Media
Media di tanah air gencar melakukan konvergensi, PR sebaiknya melakukan tiga hal.
Dok. Istimewa

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Adanya perubahan perilaku masyarakat yang kian digital setiap hari menjadi faktor yang mendorong terjadinya konvergensi ini. Dalam hitungan menit, mereka dapat mengaksies berbagai media sosial berbeda mulai dari Instagram, Facebook, Twitter, sampai YouTube. Demikianlah pernyataan Bima Marzuki, founder dan CEO Media Buffet PR, saat menjadi pembicara Konvensi Nasional Humas (KNH) bertajuk “Media dan Tanggung Jawab Sosial, Interdependensi dan Konvergensi Media”, Sabtu (05/12/2020)

Konvergensi tersebut, kata Bima, dilakukan dengan menayangkan berita yang mereka produksi ke media sosial. “Hingga saat ini, pelaku media masih mencari keseimbangan antara pembaca dengan potensi bisnis di media yang ada sekarang. Mulai dari koran, tv, hingga portal berita dengan sembari meraba-raba kesempatan yang ada di media sosial,” ujarnya.

Idealnya, konvergensi itu baru terjadi apabila ada kolaborasi antara beberapa elemen di dalam media masa. Ada kolaborasi antara jurnalis, lembaganya, dan ada juga konvergensi antara penonton dengan platformnya. “Jadi, konvergensi bukan hanya terjadi karena ada penggabungan dari usahanya. Sebab, kalau penontonnya tidak ikut bergabung, konvergensinya juga tidak akan berjalan,” imbuhnya. 

Bima merangkum setidaknya ada tiga jenis konvergensi antara media dengan media sosial. Pertama, konvergensi yang media sosial menjadi lemah bagi konten yang kedua. Menurut Bima, konvergensi jenis pertama ini paling banyak dijumpai di tanah air. Terutama, bagi media yang sudah lama beroperasi. Contoh, Kompas. Sifat konvergensi ini adalah memperbanyak jenis platform tanpa melihat konsentrasi market-nya. “Konten beritanya ada hampir di semua platform dengan mengemas ulang konten berita yang ada,” ujarnya.

Kedua, media sosial menjadi rumah bagi konten yang pertama. Jenis ini masih jarang ditemui. Yakni, media terkait memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi dan membuat liputan ke dalam bentuk yang kekinian. Contoh, Gorila Sport atau Remotivi yang membahas isu sensitif di masyarakat. “Jenis media ini menganggap media sosial lebih media dari media itu sendiri,” ujarnya.

Contoh lain, podcast Deddy Corbuzier dengan tagline “Apapun isunya klarifikasinya di Deddy Corbuzier”. Lainnya, Kok Bisa? di YouTube. “Meskipun secara struktur dan legalitas bukan perusahaan media, tapi saat ini publik cenderung untuk tidak mendapatkan informasi dari media. Dan, lebih memediakan saluran-saluran ini karena mereka menganggap sumber informasi yang ditawarkan lebih relevan dan sesuai dengan kebutuhan mereka,” katanya.

Ketiga, media sosial menjadi rumah bagi komunitas. Jenis ketiga ini tergolong unik. Biasanya, media tersebut relatif baru dan mempunyai pengetahuan digital di atas rata-rata ketimbang media lain. Media seperti ini tidak hanya meletakkan dan mengemas ulang berita di platform lainnya, namun berani berinteraksi dan membangun komunikasi dengan audiensnya. “Media jenis ini mempunyai komunitas yang lebih spesifik sehingga konten yang mereka produksi dapat memberikan dampak yang jauh lebih besar. Mulai dari membangun awareness, memberikan informasi, hingga memengaruhi audiens mereka,” kata Bima seraya memberi contoh Tirto, Vice, Asumsi.

Sikap PR

Lantas, bagaimana PR mesti bersikap? Berdasarkan riset dari Google, Temasek dan Bain, dalam kurun setahun, ada 40 juta pengguna internet baru di tanah air. Menariknya, 56 persennya bukan berasal dari kota metropolitan. 

Lainnya, konvergensi antara mainstream media dengan media sosial bukan hanya melahirkan media jenis baru, tapi turut membentuk perilaku masyarakat dan komunitas berkumpul di media sosial. Data Juni 2020 menunjukkan, masyarakat lebih banyak menonton melalui YouTube ketika pandemi. Mulai dari menonton video bertema jalan-jalan, mobil, elektronik, pengetahuan baru, drama korea, hingga game on-line.  

Melihat perubahan-perubahan tadi, Bima menyarankan kepada PR untuk melakukan tiga hal. Yakni, rethink, remapping, restrategize. Praktisi PR harus bisa melihat dan berpikir, apakah target  audiens dan stakeholder selama 1-2 tahun terakhir masih sama, begitu pula dengan perilakunya. "Kita harus melakukan stretagi ulang untuk memanfaatkan tujuan yang lebih spesifik dan strategi yang lebih efisien," tutupnya. (rha)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI