Bagi praktisi public relations (PR) penting untuk mengetahui ekspektasi audiensnya. Begitu pula bagi JULO, perusahaan rintisan yang bergerak di industri financial technology (fintech)—industri yang belakangan terus berkembang, bahkan makin diminati di kala pandemi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Industri fintech yang bergerak di sektor penyaluran pinjaman secara daring, seperti juga industri lainnya, kerap dihadapkan oleh berbagai dinamika dan isu. Bedanya, fintech di tanah air identik ada banyak fintech ilegal karena tidak mendaftar dan mendapatkan izin, hingga berujung penutupan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Ada 158 fintech yang terdaftar di indoesia, tapi di saat yang bersamaan, ada ratusan lainnya yang ilegal,” kata Mikhal Anindita, Head of Marketing JULO, saat menjadi pembicara di acara konferensi pers yang berlangsung secara virtual bertajuk “Update Industri Fintech di Masa Pandemi bersama JULO”, Selasa, (24/11/2020).
Tentunya, kondisi ini merusak reputasi industri, terlebih bagi korporasi yang bergerak di sektor yang sama tetapi sudah menjalankan aktivitas bisnisnya sesuai regulasi atau peraturan undang-undang.
Kondisi ini dialami oleh PT JULO Teknologi Finansial (JULO), perusahaan finansial teknologi inovatif yang bertujuan untuk memberikan solusi pinjaman on-line tanpa jaminan. Menurut Mikhal, salah satu upaya untuk membangun reputasi dan kepercayaan publik terhadap korporasinya adalah dengan terus menerus memberikan edukasi.
Seperti yang dilakukan departemennya. Meski bertugas mengelola marketing, tapi konten marketing tidak melulu soal jualan produk. Mereka juga menyampaikan berbagai informasi yang mengandung unsur edukasi mulai dari apa itu fintech, bagaimana mengelola keuangan yang baik, dan masih banyak lagi.
Sebelum pandemi, mereka juga aktif melakukan edukasi ke berbagai kota, bekerja sama dengan pelaku fintech lain dan OJK. “Tantangan untuk pelaku di sektor fintech seperti kami memang edukasi terus menerus untuk mendorong masyarakat bijak dalam meminjam uang dan tidak ‘jatuh’ melakukan peminjaman di perusahaan fintech yang ternyata ilegal,” imbuhnya.
Sebab, Adrianus Hijitahubessy, CEO JULO, menambahkan, meski menawarkan pinjaman yang persyaratan mudah dan menjamin cepat cair, pada akhirnya akan merugikan peminjam. Banyak keluhan dari peminjam mulai dari cara mengoleksi pinjaman yang dilakukan dengan tata cara atau etika yang kurang baik, hingga tidak menutup kemungkinan berujung pada penipuan.
Adrianus tak memungkiri, di awal pandemi, ada banyak peminjam yang kesulitan mengembalikan uang pinjaman karena terdampak pandemi. “Yang kami lakukan justru merangkul untuk membantu mereka agar bisa mengembalikan pinjaman. Serta, membuat program restrukturisasi pengembalian pinjaman,” katanya.
Kehadiran dan Kontribusi
Langka Keke Genio, entrepreneur dan content creator, dalam memilih fintech patut ditiru. Ia mengaku justru tidk terlalu tertarik memilih pinjaman dari perusahaan fintech yang sering beriklan. Sebaliknya, ia lebih melihat dari kehadiran dan kontribusinya di tengah publik. Hal lain yang memengaruhinya adalah dari banyaknya ulasan costumer yang sudah menggunakan layanan mereka. “Dari sana, saya sudah teryakinkan 50 persen,” katanya.
Selanjutnya, soal sudah seberapa banyak perusahaan menyalurkan modal, tingkat kesukesan, menjalankan bisnis sudah sesuai perizinan dan peraturan, dan tentu saja sudah terdaftar di OJK. (rtn)