Pandemi Covid-19 dan digital teknologi memaksa praktisi public relations (PR) untuk mengubah dari sekarang cara mereka berinteraksi dan membangun relasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Demikian pernyataan Prof. Rhenald Kasali, pendiri Rumah Perubahan, di acara International Public Relations Summit (IPRS) 2020 yang berlangsung secara virtual, Senin (26/10/2020).
Di acara yang dipandu oleh pendiri IPRS dan EGA briefings, Elizabeth Goenawan Ananto, Rhenald mengatakan, tidak ada lagi kata mundur apalagi berharap dunia akan berjalan seperti sebelum masa pandemi. “Dulu, yang memercayai dan peduli dengan adanya disrupsi teknologi hanya kalangan muda. Sekarang, generasi di atasnya percaya dan dipaksa untuk berubah,” ujarnya.
Pun dengan praktisi PR. Penulis buku Manajamen Public Relations ini, jauh sebelum pandemi, industri PR bahkan dunia sudah memasuki era perang narasi. Jika dulu kita memprediksi masa depan dengan mengoleksi data lama. Sekarang tidak demikian.
“Teknologi digital memungkinkan artificial intelligence (kecerdasan buatan) untuk mengoleksi data. Data itu kemudian dipelajari, atau kita kenal dengan istilah machine learning, untuk kemudian dikomunikasikan kepada target sesuai sasaran,” ujarnya.
Kondisi inilah yang kemudian mengubah cara PR bekerja. “Ketika kita sudah berada di era ekosistem digital, kita tidak bisa lagi mengontrol media. Selain itu, kita sedang berada di era new media sharing shaping, pentingnya mengetahui dan menguasai data science. Tapi, PR bisa menjadi konduktor semua media yang ada,” ujarnya. “Kunci menghadapi era ini adalah tetaplah relevan dan teknologi adalah bagian darinya,” tutup Rhenald.
Jen Blandos Hardie, Communications Strategist and Entrepreneur, sependapat. Teknologi sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia saat ini, apalagi di tengah pandemi. Tantangan bagi PR adalah memecah kebisingan di tengah era banjir informasi, rentang perhatian yang kian pendek, generasi TikTok. Serta, ekspektasi yang tinggi dari para pemangku kepentingan mengenai cara atau kemampuan PR dalam mengeksekusi kegiatan dan membangun relasi secara virtual, menyampaikan materi, hingga mengusung tema dan pemateri yang menarik.
Untuk itu, kata perempuan asal Kanada ini, penting bagi PR untuk mengetahui dan mengerti siapa stakeholder mereka, melakukan riset, kreatif, membuat konten yang mengandung unsur edukasi, menyenangkan, menghibur, menginspirasi, dan juga menarik untuk dilihat/ditonton. Lainnya, memastikan dan meyakinkan CEO atau pimpinan untuk menggunakan teknologi, menyapa audiens, mengunakan teknologi dengan percaya diri dan nyaman.
Ancaman dan Risiko
Tak lupa, Ardi Sutedja, Chairman & Co-Founder, Indonesia Cyber Security Forum, mengingatkan banyaknya risiko dan ancaman yang bakal kita hadapi ketika menggunakan teknologi digital. Mulai dari kebocoran data, menggunakan wi-fi yang tidak aman, network spoofing (mengakses secara ilegal baik dari perangkat komputer, mobile, e-mail, maupun akun lainnya, lalu penjahat siber akan berpura-pura menjadi pemilik yang asli), phising attack (serangan siber dengan cara membuat replika dari sebuah situs, misalnya situs perbankan), perangkat pengintai (spyware), broken cryptography, dan masih banyak lagi.
Pertanyaannya, apakah selama ini kita tahu dan peduli terhadap bahaya dan ancaman tersebut? Menurut Ardi, tak ada formulasi yang paling tepat untuk menjawab ancaman dan risiko ini kecuali kita menyadari dan mengetahui semua risiko itu, mempersiapkan diri, melakukan mitigasi, belajar terus-menerus untuk mengetahui era digital dan perkembangannya, hingga membangun tanggung jawab kolektif untuk menemukan solusi yang lebih baik. (rtn)