Dunia kini dihadapkan pada kondisi di mana kita tak bisa lagi membedakan antara suara (voice) dengan bising (noise). Praktisi public relations (PR) perlu jurus khusus agar dapat membuat konten yang mampu mencuri perhatian.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Hal inilah yang dirasakan oleh Radityo Prabowo, Tenaga Ahli untuk Staf Khusus bidang Komunikasi dan Media Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Kemendikbud). Pria yang sebelumnya menjabat sebagai CEO DJE Holdings Indonesia itu tak menampik bahwa saat ini kita sedang dihadapkan pada kondisi di mana tidak lagi bisa membedakan antara suara (voice) dengan kebisingan (noise).
“Kita berada di dunia yang sangat datar. Sudah tidak ada lagi model piramida agenda setting maupun otoritatif dalam membuat konten. Semuanya terasa horizontal. Atau, kita menyebutnya dengan istilah new sphere off cross influence sharing,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam PR INDONESIA MEET UP #24 bertajuk “Social Media Trends During COVID-19: Adjust your Strategy!”, Selasa (8/9/2020).
Perubahan lanskap komunikasi juga menuntut brand/organisasi mampu memosisikan dirinya secara sejajar dengan para penerbit (publisher) seperti media massa, pemengaruh/influencer, maupun key opinion leader (KOL). Sementara dari segi platform komunikasi, publik cenderung membedakan dari tiga kategori. Pertama, sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube. Kedua, curators. Sebut saja, Line Today, Babe (Baca Berita), Lokadata. Ketiga, search. Antara lain, Google, bing, Wikipedia, maupun Yahoo!
“Ini tren yang harus kita tangkap. Yakni, dunia sudah bergeser secara psikografis maupun kebiasaan mengonsumsi media,” katanya. “Pekerjaan rumahnya adalah kita harus hadir dimana audiens kita berada,” tambah Radit, sapan karibnya.
3K
Sebagai solusinya, Radit mengeluarkan jurus 3K. Terdiri dari konten, konteks dan kreatif. Konten bermakna narasi yang mampu memancing kesadaran, pemikiran serta pertimbangan audiens. “Ini bisa kita lakukan dengan mengedepankan aspek logika, emosional atau kombinasi dari keduanya,” ujarnya.
Sementara konteks berkaitan dengan relevansi yang akan menghubungkan narasi kita dengan target audiens. “Konteks bisa berupa data, fakta, ikatan, kedekatan, sebab-akibat, pemancingan minat, atau kebutuhan,” imbuhnya.
Sedangkan kreatif bukan tentang hasil akhir yang berupa iklan/poster kampanye. Lebih dari itu, berupa strategi agar narasi yang dibangun mendapat perhatian sedikit lebih lama dari target audiens. “Karena dunia yang semakin bising, menarik perhatian audiens hanya 0,1 detik, atau lebih lama itu, semakin mahal dan sulit,” katanya.
Untuk itu, penggabungan jurus 3K menjadi penting agar praktisi PR dapat menempatkan posisinya menjadi lebih strategis. Tidak sekadar menjalankan tugas teknis seperti menulis rilis atau mengundang media. “Di tengah pandemi, kita harus selalu relevan untuk menciptakan konten, narasi serta ajakan ke publik yang mengedepankan kebaikan, rasa kasih sayang (compassion), serta saling menghormati,” tutupnya. (ais)