Menjalin relasi dengan rekan media sering terabaikan seiring masifnya pertumbuhan media sosial, influencers hingga key opinion leader (KOL). Padahal, keberadaannya memegang peranan penting sebagai penyampai informasi dan edukasi. Terutama saat krisis.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kondisi tersebut menjadi perhatian utama VP Corporate Communication Telkomsel Denny Abidin. Abe, begitu Denny akrab disapa, mengungkapkan media massa memegang peranan vital terutama pada saat perusahaan tengah berhadapan dengan krisis.
“Publik sekarang lebih mendengarkan berita-berita yang disampaikan oleh influencers, KOL atau yang tersebar di media sosial. Padahal kebenarannya belum tentu terjamin,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam webinar yang diselenggarakan oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat bertajuk “Mengelola Krisis melalui Strategi Komunikasi dan Manajemen Isu di Media”, Rabu (2/9/2020).
Apalagi informasi yang keluar dari media massa telah melalui berbagai proses redaksional. Tujuannya, untuk memastikan isinya dapat dipertanggungjawabkan. Kepada para peserta, Abe pun menekankan pentingnya membangun hubungan yang harmonis dengan praktisi media. “Jangan pernah menghindar jika terjadi krisis, sebaliknya menjadikan kesempatan untuk menyampaikan kondisi perusahaan yang sesungguhnya,” katanya seraya berpesan.
Selain media, manajemen maupun karyawan juga menjadi salah satu stakeholders utama yang penting untuk diedukasi saat perusahaan diterpa krisis/isu. Mulai dari menimbulkan sense of crisis kepada seluruh karyawan, menjelaskan sejauh mana hak mereka sebagai juru bicara untuk berbicara kepada pihak ketiga, serta menenangkan manajemen.
Sementara dalam merespons setiap krisis, anak usaha Telkom Indonesia ini membaginya ke dalam dua kategori. Pertama, social corporate ringan. Kedua, tahap kritikal/high level crisis yang bersifat semi politik.
Jangan Salah Langkah
Pria berkacamata ini lantas membagikan enam langkah atau tahapan yang harus dilakukan oleh PR ketika berhadapan dengan krisis. Pertama, mencermati setiap kejadian, apakah dapat dikategorikan sebagai krisis atau bukan. “Banyak praktisi PR yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tidak ada yang salah dalam sebuah krisis. Yang salah adalah cara kita menangani dan beraksi,” ujarnya memberi catatan.
Kedua, membentuk tim krisis yang akan menentukan respons, pernyataan, serta tunjuk juru bicara. Ketiga, jangan bertindak sebagai pahlawan atau merasa sebagai ahli dalam menangani sebuah krisis. Sebaliknya, PR harus melibatkan tim di luar komunikasi untuk memperoleh fakta yang lebih jelas.
Keempat, memosisikan media sebagai mitra dengan cara melakukan monitoring. “Bersikap transparan kepada media. Lebih baik menyalurkan berita ke jalur informasi yang tepat daripada nyampah di media sosial,” ujarnya.
Kelima, merawat hubungan dan menjalin kolaborasi dengan para ahli. Keenam, pada saat krisis berakhir, jadikan sebagai pembelajaran atau lesson learned. (ais)