Suka atau tidak suka, pandemi Covid-19 telah menjadi katalisator percepatan transformasi digital. Proses yang tadinya diperkirakan memakan waktu hingga tahunan, menjadi hanya dalam hitungan 2 - 3 bulan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kondisi tersebut mendorong perusahaan/organisasi untuk mengembangkan budaya kerja yang ramping serta memiliki rasa ingin tahu yang kuat (lean and curious culture). Seperti yang dilakukan oleh Telkomsel. Meski, kata Denny Abidin, VP Corporate Communication Telkomsel, anak perusahaan Telkom ini merupakan pemimpin pasar (market leader) di tanah air, bukan berarti mereka tidak melakukan perubahan dan perkembangan budaya.
Menurutnya, upaya menjadikan organisasi yang ramping (lean organization) di era transformasi digital ini adalah wujud dari keinginan organisasi tersebut untuk terus belajar. "Terkadang organisasi yang merasa sudah besar seperti Telkomsel selalu dikatakan leading the industry. Namun, ada satu hal yang tetap tidak boleh kita tinggalkan. Yakni, keinginan untuk terus belajar," ujar Denny saat menjadi pembicara di webinar The NextDev Hub Virtual Talks #3 Special Edition bertajuk "Leading Innovation: Developing a Lean and Curious Culture" Kamis (27/8/2020).
Untuk mewujudkan organisasi yang ramping, Telkomsel sedang mengimplementasikan sembilan kebiasaan yang mereka pelajari dari para stakeholders dalam merespons transformasi digital. Pertama, harus menjadi pendengar yang baik. Kedua, memandang orang lain dengan rasa hormat dan setara. Ketiga, bersedia untuk gagal (willing to fail). Keempat, dapat diandalkan.
Kelima, selalu mencari perbaikan setiap saat (always seek improvement all the time). Karyawan dituntut lebih efisien, meningkatkan produktivitas, memotong birokrasi, dan menjalankan proses secara lebih cepat. Keenam, bersikap suportif atau saling mendukung satu sama lain. Ketujuh, mengukur hasil. Kedelapan, mau mengakui hasil karya orang lain dan memberikan penghargaan. Sembilan, pemimpin harus memahami proses, memiliki pengalaman sebelum memutuskan segala sesuatunya.
Menurut Abe, begitu Denny karib disapa, kesalahan terbesar yang dilakukan oleh organisasi adalah menempatkan orang yang salah di tempat yang salah. “Untuk itu, kita harus berkolaborasi, menemukan orang yang cocok dan terbaik di tempat itu. Bisa dari ekspertis luar atau manapun," katanya. Kebiasaan baru ini juga harus tertanam dan menjadi bagian dari setiap aktivitas para praktisi public relations (PR) dalam membangun relasi dan komunikasi baik dengan stakeholder internal maupun eksternal.
Empat Pilar
Adapun empat pilar yang mesti dilakukan perusahaan untuk membentuk organisasi yang ramping dan selalu memiliki rasa ingin tahu yang kuat. Pertama, rasa saling menghormati. Termasuk menghormati kesetaraan dan cara berpikir yang terbuka.
Kedua, berpikir secara ilmiah (scientific). "Terkadang kita sering kali melupakan hal-hal yang bersifat ilmiah ketika sedang berbicara tentang efesiensi dan efektivitas. Kita cenderung hanya memikirkan tentang biaya," imbuh Abe.
Ketiga, keselarasan perusahaan (enterprise alignment). Ini berkaitan dengan konsisten dalam mencapai tujuan perusahaan. Pada saat perusahaan berkomitmen untuk bertransformasi, artinya kesungguhan itu harus dilakukan secara konsisten. Mulai dari karyawan level paling bawah hingga manajemen tertinggi. "Pemimpin harus menetapkan target berdasarkan pengalaman, menerapkan budaya top down dan memahami proses di bawah," katanya.
Keempat, harus berdasarkan pada hasil (based on result oriented). Tidak ada alasan sedikit pun dari perusahaan yang sedang bertransformasi untuk meninggalkan targetnya. "Apapun proses yang sedang berjalan, perusahaan harus tetap berorientasi pada hasil itu," ujarnya, tegas. (ais)