Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) menjadi momentum bagi rumah sakit meningkatkan kepercayaan pasien untuk kembali berobat tanpa perlu merasa khawatir tertular.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Rumah sakit memang menjadi salah satu sektor tersibuk selama pandemi Covid-19. Namun, tidak demikian dengan rumah sakit nonrujukan, seperti halnya RS Kanker Dharmais. Berdasarkan survei yang dilakukan Perhimpunan Humas Rumah Sakit Indonesia (Perhumasri), angka kunjungan pasien ke rumah sakit menukik hingga 60 persen selama pandemi. Sudah selayaknya, periode Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) ini menjadi momentum bagi rumah sakit untuk meyakinkan publik bahwa rumah sakit aman dikunjungi dan disiplin menerapkan prosedur protokol kesehatan.
Menurut Anjari Umarjianto, Kabag Hukum, Organisasi dan Hubungan Masyarakat RS Kanker Dharmais, ada tiga hal penting yang harus dilakukan oleh pelaku PR rumah sakit di masa AKB ini. Pertama, menjaga reputasi rumah sakit dengan cara memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat agar tidak perlu merasa khawatir ke rumah sakit. Kedua, meminimalisasi stigma terhadap pasien yang diduga Covid-19, termasuk rumah sakitnya. Ketiga, penguatan komunikasi internal karyawan.
“Memasuki fase pemulihan akan ada banyak perubahan dan penguatan dari segi teknologi maupun prosedur. Kami dituntut untuk mampu beradaptasi dan belajar dengan cepat. Penguatan komunikasi internal menjadi penting agar kami memiliki persepsi dan semangat yang sama,” ujarnya kepada PR INDONESIA melalui wawancara via virtual, Senin (8/6/2020).
Adapun komunikasi yang dikedepankan harus mengandung unsur super empati, lebih informatif, dan responsif. “Di masa krisis akibat pandemi, potensi informasi yang menyesatkan tinggi sekali. Kami selaku humas harus mampu memberikan informasi yang tidak sekadar generik, tapi spesifik,” kata pria yang merupakan Ketua Kompartemen PR dan Marketing Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) ini
Mereka juga harus koordinatif dan komunikatif dengan lintas sektor, termasuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sementara membangun komunikasi yang sifatnya verbal tertulis (script writing) dan infografis menjadi kompetensi mutlak yang harus dimiliki PR di tengah kondisi jaga jarak.
Momentum Penyadaran
Adapun bentuk komunikasi publik yang dilakukan di rumah sakit, kata Anjari, sedikit berbeda dengan sektor lain. “Bagi kami di rumah sakit, komunikasi menggunakan media konvensional masih efektif,” ujar Ketua Umum Perhumasri ini seraya menyebut standing banner, TV internal yang diletakkan di tiap sudut rumah sakit dan secara verbal saat proses screening ketika pengunjung hendak memasuki area rumah sakit. Adapun komunikasi secara digital lebih mengedepankan untuk tujuan edukasi. Salah satunya, mengadakan webinar dengan para pakar dan pelaku di bidang kesehatan secara virtual.
Anjari juga melihat periode AKB ini sebagai momentum penyadaran bersama. Sebab, ada kebiasaan yang sebenarnya sudah ada sebelum pandemi, tapi sering kali kita abaikan. Contoh, aktivitas mencuci tangan yang merupakan bagian dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). “Selama ini kita sulit sekali mengajak masyarakat untuk melakukan PHBS. Inilah momentum yang tepat,” kata pria yang sebelumnya menjabat sabagai Kabag Opini Publik Pusat Komunikasi Publik Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemkes.
Di sisi lain, ada juga kebiasaan yang benar-benar baru, seperti aturan jaga jarak ketika mengantre atau berkonsultasi. Untuk itu, mereka terus mengembangkan dan mengoptimalkan keberadaan konsultasi on-line baik melalui telepon, video, maupun secara tertulis/chat. Obyektifnya pun tidak lagi sekadar membuka layanan konsultasi, tapi memungkinkan hingga terjadinya proses edukasi dan transfer informasi. “Yang perlu digarisbawahi adalah prioritas rumah sakit saat ini memang melayani pasien Covid-19 tanpa menomorduakan pasien non-Covid-19,” ujarnya. (rtn)