“Storytelling is a public relations secret sauce,” ujar Jojo S Nugroho Ketua Umum APPRI mengutip pernyataan Patrick Herridge, UK Managing Director of MWWPR—sebuah agensi PR Eropa.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Berdasarkan hasil survei The Holmes Report 2012 terhadap 650 praktisi PR di 35 negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa 71 persen responden menilai great storytelling merupakan faktor yang paling berkontribusi terhadap kampanye PR yang sukses.
Survei yang sama dilakukan USC Annenberg School for Communications and Journalism lewat Global Communication Report 2017 menunjukkan hasil yang sama. Yakni, sebesar 88 persen responden PR profesional dan 80 persen marketing profesional menyebut digital storytelling sebagai tren terpenting yang akan mempengaruhi masa depan PR lima tahun ke depan.
Bahkan, Jojo yang juga merupakan Managing Director IMOGEN PR itu memperkirakan tidak hanya sekadar digital storytelling, tetapi data storytelling. Fakta inilah yang menjadi keyakinan bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan sebagai makhluk yang menyukai cerita.
Dalam paparannya di acara MAW Talk Workshop MERDEKA!!! bertajuk "Digital Storytelling for PR, How We Can Create It?", Jumat (14/8/2020), Jojo menyinggung betapa dahsyatnya dongeng bawang merah bawang putih mampu mempengaruhi cara berpikir anak-anaknya terhadap sosok bawang merah di kehidupan nyata. Demikian halnya dengan reputasi organisasi yang bisa dibangun dengan metode storytelling.
Tips dan Trik
Reputasi erat kaitannya dengan kinerja organisasi yang dinarasikan/diceritakan dengan baik. Pria yang juga merupakan Pricipal Imogen Communications Institute (ICI) itu lantas membagikan poin penting dalam menciptakan storytelling yang luar biasa.
Pertama, konten kreatif. Dengan catatan sederhana dan mudah dikonsumsi. Kedua, jaga konteks, dan jangan lari dari pesan utama. Ketiga, ibarat menonton drama Korea. Storytelling yang baik harus mengandung unsur emosional, di mana di dalam sebuah skenario terdapat tokoh, jagoan, musuh, dan konflik.
Keempat, jaga konten agar tetap bersifat edukatif. Branding tidak melulu soal jualan. Kelima, perhatikan medium yang relevan dengan target audiens kita. Terakhir, konten adalah raja. “Kekuatan dari storytelling adalah narasi/kata-kata. Namun, pada saat ini kata-kata harus didukung dengan kemampuan kita menyalurkannya ke dalam multiplatform digital dan diperkuat dengan data,” katanya.
Perlu diingat, pada saat hendak menyampaikan pesan perusahaan dalam metode storytelling, PR perlu melihat dari kacamata audiensnya. Dengan begitu, kita akan mengetahui pandangan mereka tentang ide atau kampanye yang akan dibuat. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membuat survei kualitataif maupun kuantitatif dengan melibatkan komunitas, para ahli ataupun media. “Intinya mau mendengarkan, gunakan tools yag sudah tersedia seperti media monitoring, social media listening tools,” ujarnya. (ais)