Di masa pandemi Covid-19, public relations (PR) dituntut untuk lebih banyak membangun interaksi kreatif secara virtual. Bagaimana caranya?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Salah satunya adalah aktif mengadakan konferensi pers hingga peluncuran produk secara virtual. Seperti yang dialami oleh Managing Director H+K Strategies Indonesia Harry Deje. Saat menjadi pembicara di acara Webinar Telum Media bertajuk “Kenormalan Baru: Apa saja Strategi untuk Media dan PR?”, Rabu (5/8/2020), ia berbagi kisah tentang tantangan baru mengadakan berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan secara off-line tersebut.
Menurut Deje, begitu ia karib disapa, ketika semua orang dan perhatian beralih ke virtual, tantangannya adalah mengadakan kegiatan serupa, tapi berkesan Ia menyebutnya outstanding. Selain itu, tidak membosankan. “Bahkan, kalau bisa memberikan pengalaman baru kepada jurnalis. Terutama, media televisi yang membutuhkan gambar/visual,” ujarnya.
Kuncinya, kata Deje, terletak pada cara PR membangun interaksi secara virtual. Mulai dari membuat konten yang menarik secara visual, menyajikan angle/sudut pandang kamera dari sisi yang berbeda, hingga menambah unsur hiburan seperti musik. Agar tidak terkesan monoton, tak ada salahnya diselingi dengan kuis, sementara sesi tanya jawab dibuat terpisah, atau menambah unsur infografis.
Lainnya tak kalah penting adalah memastikan terpenuhinya semua kebutuhan rekan media. Contoh, PR harus mampu mengakomodasi kebutuhan wartawan untuk mendapatkan kesempatan melakukan wawancara secara ekslusif dengan narasumber. PR juga harus mempersiapkan siaran pers sesuai kebutuhan media mulai dari siaran pers dalam bentuk tertulis, video, hingga audio/suara.
Membangun kedekatan dengan media pun terasa berbeda. “PR harus mengorbankan waktu lebih banyak, salah satunya membangun kedekatan melalui WhatsApp maupun video call,” ujarnya. Ini dikarenakan kesempatan untuk bertemu secara tatap muka tidak seleluasa seperti sebelum pandemi.
Peka
Evi Mariani, Redaktur Pelaksana The Jakarta Post, memberi beberapa catatan kepada PR. Antara lain, PR harus pandai membangun komunikasi dengan jurnalis, peka melihat isu yang sedang menjadi perhatian atau agenda media terkait yang sifatnya dinamis, serta mampu membaca isu yang tengah berkembang di publik. Sebut saja, isu kesehatan mental, kesetaraan pendidikan, kesehatan, hingga lingkungan.
Bicara soal media, Evi mengaku pandemi turut mengubah cara jurnalis bekerja, termasuk memukul bisnis media. Selain harus menghimpun informasi dari rumah, dari sisi jumlah halaman pun mengalami penurunan.
Meski begitu, antusiasme publik membaca berita dari media konvensional justru melonjak tajam selama pandemi. Bahkan, khusus The Jakarta Post, lonjakannya mencapai 600 persen. “Masyarakat menyadari kredibilitas sangat penting apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Verifikasi lapangan menjadi tidak tergantikan,” pungkasnya. (ais)