Berdasarkan hasil dari berbagai lembaga survei, pengetahuan masyarakat tentang Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) sudah cukup tinggi. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan perubahan perilaku. Lantas, komunikasi publik seperti apa yang harus dilakukan pemerintah?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Isu ini menghangat di acara Webinar Nasional Program Magister Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) UIN Jakarta bertajuk “Komunikasi Publik dalam Penanggulangan Covid-19 di Era New Normal. Apakah bisa mengubah perilaku masyarakat?”, Rabu (5/8/2020).
Staf Khusus Menteri Perhubungan Adita Irawati mengatakan, berdasarkan hasil berbagai survei seperti FKM UI, SMRC, Badan Pusat Statistik, dan Lembaga Survei Indonesia, tingkat pengetahuan masyarakat tentang adaptasi kebiasaan baru sudah cukup tinggi. “Mayoritas masyarakat sudah tahu keharusan menggunakan masker, mencuci tangan, tinggal di rumah, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan,” ujarnya.
Bahkan, menurut survei BPS, 87 persen responden sudah paham tentang physical distancing atau jaga jarak. Sementara 80 persen responden tahu tentang aturan mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik.
Sayangnya, Adita melanjutkan, tingkat pengetahuan ini belum berkorelasi dengan perilaku. Terbukti dari adanya 637 kendaraan jasa travel yang ditindak dan 109.479 unit kendaraan yang diperintahkan untuk melakukan putar balik karena melanggar peraturan. Sementara berdasarkan laporan POLRI, hingga saat ini mereka telah membubarkan 1,3 juta kerumunan.
Kondisi tersebut berangsur membaik. Masyarakat sudah semakin disiplin menerapkan jaga jarak dan protokol kesehatan. Menurut Adita, hal ini tak terlepas dari upaya strategi komunikasi yang dilakukan pemerintah. Caranya adalah membumikan substansi pesan dengan bahasa sehari-hari dan humanis.
Selain itu, pemerintah juga melakukan penyelarasan tujuan, target audiens, pengukuran, dan satuan. Untuk mengimplementasikan upaya ini, Adita menekankan pentingnya kolaborasi pentahelix antara pemerintah dengan akademisi, media, dunia usaha, dan komunitas.
Ia juga menekankan perlu adanya sosialisasi dan edukasi bersama stakeholders yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Jangan sampai masyarakat menjadi terlena dan kemudian lupa bahwa virus ini masih ada di sekitar kita. Selain itu, perlu ada reward and punishment dan perbaikan protokol dari waktu ke waktu mengingat situasi selama pandemi berubah secara dinamis.
Samakan Persepsi
Anggota Komisi II DPR RI Johan Budi mengatakan, komunikasi publik perlu ditinjau dari dua persepsi. Pertama, persepsi publik. Kedua, persepsi pemerintah. Dari persepsi publik, Covid-19 adalah penyakit berbahaya dan menular. Krisis kesehatan yang telah menjadi multikrisis ini pun berdampak kepada pendapatan mereka. “Publik juga merasa pemerintah belum memberikan solusi atas kesehatan dan ekonomi untuk mereka,” ujarnya.
Sementara dari sisi pemerintah, mereka berada di antara pilihan yang sulit. Yakni, menyelesaikan pandemi dan ekonomi. Pemerintah juga harus secara berkelanjutan membuat aturan baru untuk mencegah penularan.
Senada dengan Johan. Menurut Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Gun Gun Heryanto, ada dua dimensi pokok dalam AKB. Yakni, kesadaran masyarakat dan kebijakan publik. Adapun masalah komunikasinya adalah gap komunikasi, tayangan di media massa dan media sosial, gaya komunikasi, peran informasi, dan komunikasi kebijakan.
Sementara prioritas kerja penanganan mencakup lima bagian. Terdiri dari membuat protokol kesehatan dan komunikasi Covid-19, melakukan koordinasi organ komunikasi untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi, mengelola contact center, membangun jejaring komunikasi, dan memproduksi dan mendiseminasi pesan AKB. Target dari upaya tersebut, pemerintah dapat menguatkan komite penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Di sisi lain, pemerintah juga mendapat dukungan, kepercayaan, dan opini positif dari masyarakat. (rvh)