Mereka yang suka menulis, atau memang berprofesi penulis, tentu tidak asing dengan kata diksi. Penggunaan diksi, adalah hal penting saat menulis. Apapun itu bentuk atau jenis tulisannya. Dari berita, features, profil, hingga opini atau kolom. Satu dari sekian banyak penulis hebat di negeri ini yang begitu kaya dengan diksi saat menulis adalah Goenawan Mohamad.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Diksi adalah salah satu “senjata” bagi penulis. Memainkan diksi akan membuat tulisan terasa lebih “gurih”. Mengalir, tanpa terasa terbaca tuntas. Mengasyikkan dinikmati dan memperkaya warna tulisan.
Pemakaian diksi, tentu saja tidak asal-asalan. Butuh kecermatan penulis. Kapan dimainkan dengan tepat, kapan pula tidak dimanfaatkan. Kadang kala, ada penulis yang memanfaatkan kekayaan diksi sebagai upaya menarik perhatian pembaca. Itulah sebabnya, diksi yang digunakan haruslah relevan dengan siapa audiens yang ingin diajak membaca tulisan-tulisannya.
Yang berbahaya adalah ketika pemilihan diksi tidak sesuai target audiens. Sekadar memanfaatkannya, tanpa mengukur audiens paham atau tidak dengan diksi yang dipilih. Memilih diksi memang butuh kehati-hatian. Tidak mudah, perlu pendalaman sebelum akhirnya diputuskan untuk digunakan. Terlebih, jika untuk sebuah kebijakan, yang bakal ada risikonya kalau sampai tidak tepat sasaran.
Diksi jelas tidak hadir di ruang hampa. Kekuatan diksi, ditentukan dari kebijakan memilihnya dengan tepat, relevan terhadap audiens yang diajak berkomunikasi, sekaligus mudah dipahami. Yang terakhir ini, bisa mendorong munculnya gerakan sosial. Seperti kepatuhan atas sebuah kebijakan menggunakan masker pelindung diri dari virus Covid-19, misalnya.
Ketika kepatuhan sosial begitu sulit mewujud, kehati-hatian menempatkan diksi dalam setiap tindakan komunikasi, adalah sikap yang sangat bijaksana. Berbanding terbalik dengan jika sembrono, mengumbar diksi ke mana-mana, namun tidak membekas di benak publik. Alih-alih publik patuh, sebaliknya malah acuh.
Publik tidak sepenuhnya salah. Dalam struktur masyarakat yang masih sangat patrimonial, publik butuh teladan. Memerlukan sosok panutan, yang (gaya) komunikasinya bisa dipegang. Bicara sederhana, penuh makna, sekaligus dekat dengan rakyat. Panutan publik itulah yang akan mengolah diksi menjadi sumber inspirasi dan dorongan moral bagi publik untuk bertindak patuh. Mengikuti perintah dengan sepenuhnya hati.
Keindahan
Diksi bisa memengaruhi story. Menumbuhkan cerita yang berbeda. Kalau para pemimpin mampu menajamkan indera empatinya, tentu memainkan diksi akan menjadi success story yang patut dibanggakan.
Dalam kaidah menulis, tulisan yang baik adalah tulisan yang sederhana. Penggunaan diksi, tidak pernah ada maksud besar untuk menjadikan pembaca kebingungan. Justru, untuk memperkaya dan memberi warna agar tulisan tidak kering.
Setali tiga uang, pemimpin dan para panutan publik saat berkomunikasi, sepantasnyalah memilih diksi karena pertimbangan kesederhanaan berkomunikasi. Kemudahan publik menerima anjuran. Serta harapan agar publik mengambil tindakan-tindakan yang sesuai kebijakan. Munculnya perubahan, alias adaptasi terhadap gejolak zaman yang tengah terjadi.
Kalaulah tak mudah menemukan diksi yang indah-indah, percayalah publik tak butuh keindahan dalam berkomunikasi. Terlebih di masa krisis. Mereka hanya membutuhkan diksi yang bisa dimengerti dengan kesederhanaan komunikasi. Tabik! (Asmono Wikan)