Komunikasi Risiko dan Pemberdayaan Masyarakat (KRPM) merupakan komponen penting dan tidak terpisahkan dalam penanggulangan tanggap darurat kesehatan masyarakat. Keberadaannya bertujuan untuk mencegah infodemik atau informasi berlebihan dan salah seputar virus terkait di masyarakat.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Selain itu, menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes Widyawati, KRPM bertujuan untuk membangun kepercayaan publik terhadap respons pemerintah. Sehingga, masyarakat dapat menerima informasi dan mengikuti anjuran pemerintah dengan baik.
KRPM diadaptasi dari panduan dan pelatihan Risk Communication and Community Engagement WHO. Panduan ini membantu menyiapkan strategi komunikasi dengan informasi dan ketidakpastian yang belum diketahui, mengkaji kapasitas komunikasi nasional dan sub-nasional (individu dan sumberdaya), mengidentifikasi aktor utama dan membentuk kemitraan, merencanakan aktivasi dan implementasi rencana kegiatan KRPM, dan melatih anggota Tim Komunikasi Risiko yang terdiri dari Humas/Kominfo dan Promosi Kesehatan sebagai bagian TGC, serta staf potensial lainnya.
Untuk koordinasi internal dan kemitraan, Kemenkes mengidentifikasi berbagai mitra seperti kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi, petugas kesehatan, badan usaha/swasta, dan lainnya. Adapun komponen komunikasi yang disiapkan meliputi komunikator, pesan, media, dan komunikan. “Selain mengidentifikasi juru bicara tingkat lokal dan nasional, kita juga memanfaatkan para influencer sebagai komunikator,” ujarnya.
Lainnya, mengidentifikasi media utama, membuat dan memperbarui daftar jurnalis, membina hubungan baik dengan media, dan beberapa iklan layanan masyarakat rutin yang ditayangkan di media TV dan radio. Antara lain, Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, dan Jaga Jarak. Adapun tema yang harus dikomunikasikan adalah #BersatuLawanCovid19.
Agar dapat menjangkau target audiens, humas mengidentifikasi beberapa media alternatif yang digunakan seperti media sosial, aplikasi digital, distance learning, fasilitas kesehatan dan kader posyandu, serta komunitas. Kepada mereka, humas konsisten menyebarluaskan pesan kunci. Untuk masyarakat umum, Kemenkes juga menyampaikan pesan lewat infografis. Alasannya, selain mudah dipahami juga mudah disebarkan melalui berbagai aplikasi media sosial.
Tiga E
Wiwid mengatakan, keberhasilan KRPM ini juga harus didukung dengan upaya lainnya untuk mendorong perubahan perilaku. Yakni, kombinasi 3E (enforcement, education, engineering). Education atau edukasi bertujuan agar setiap individu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sehingga dapat menjaga diri dan keluarganya dari ancaman penyakit menular, khususnya COVID-19. Upaya edukasi ini yang menurutnya sudah gencar dilakukan melalui berbagai media. Namun, upaya tersebut dirasa tidak cukup, masih dibutuhkan langkah intervensi lain, yakni engineering dan enforcement.
Engineering atau rekayasa adalah modifikasi atau pengaturan tertentu agar masyarakat tidak berkerumun, tetap menjaga jarak atau tetap di rumah saja, sebagaimana pemberlakuan PSBB di beberapa daerah di Indonesia atau pengaturan jarak tempat duduk dan batas antrian di tempat umum. Sementara enforcement atau penegakan hukum/disiplin bertujuan untuk memberikan pembelajaran dan efek jera bagi masyarakat yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Dilakukan apabila ada individu atau sekelompok masyarakat yang tidak patuh menjalankan protokol kesehatan. Sanksi yang diberikan bisa berupa denda atau hukuman sosial.
Meski demikian, lanjut Wiwid, perubahan perilaku akan berkelanjutan jika didukung beberapa unsur seperti kebijakan, sistem kesehatan, norma yang berlaku di masyarakat, serta individu masing-masing. Untuk itu, perlu komunikasi dan edukasi secara terus menerus untuk meningkatkan pemahaman, persepsi, sikap atas risiko, serta pencegahan penularan COVID-19. (adv)