Pekerjaan rumah yang harus dilakukan praktisi PR yang bergerak di sektor pariwisata di era normal yang baru adalah membangun mimpi masyarakat untuk kembali berwisata.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kondisi yang serba tidak pasti dan masih adanya kekhawatiran berwisata ini menuntut public relations (PR) untuk menyusun strategi komunikasi dengan tetap mengedepankan keamanan kesehatan secara terukur.
Menurut Ketua Bidang Riset dan Kompetensi PERHUMAS Dorien Kartikawangi, PR harus melakukan serangkaian riset untuk merencanakan strategi komunikasi. “Riset ini dapat menggunakan secondary data dari akademisi,” katanya saat menjadi pembicara di acara diskusi virtual yang digagas ASPIKOM dan ISKI Bali bertajuk “Strategi Komunikasi Pariwisata dalam Menghadapi New Normal Life”, Kamis (18/6/2020).
Praktisi PR harus mengamati dari sudut pandang orang lain melihat pariwisata di Indonesia. Dan, perspektif mikro. Yakni, dengan memerhatikan faktor budaya. Misal, apakah di era next normal masyarakat mampu mengurangi kontak personal, meningkatkan kebersihan, menggunakan masker saat berwisata, dan kebiasaan lain yang perlu adaptasi serta membuat mereka kurang nyaman.
Kebebasan travelling mungkin baru bisa dilaksanakan di tahun 2021. Nah, selama tenggang waktu inilah PR harus membangun mimpi agar masyarakat senantiasa kangen untuk kembali melakukan wisata domestik.
Lima Tahapan
Sementara itu menurut Wakil Ketua DPP Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) I Made Ramia Adnyana, new normal adalah next normal yang harus dihadapi mulai dari penataan dramatis dari aspek bisnis/ekonomi hingga sosial.
Ada lima tahapan next normal meliputi resolve (penanganan), resilience (ketangguhan), return (pemulihan Kembali), reimagination (membayangkan Kembali), dan reform (pembaruan). Oleh karena itu, perlu adanya pergeseran paradigma pariwisata sebelum PR berkomunikasi kepada audiens mereka.
Tahun 1980, misalnya, sektor pariwisata fokus pada pendekatan kuantitas dan wisata alam berskala besar. Tahun 1980 – 2010, paradigma pariwisata berubah ke arah wisata alternatif sosiokultural dalam skala kecil. Periode 2010 - 2020, mengedepankan kualitas seperti ketenangan spiritual dan keberlanjutan. Nah, di masa next normal, Ramia memprediksi paradigma pariwisata lebih mengutamakan keamanan, kejutan dan pengembangan diri.
Selain 3 P (people, planet, profit), yang harus menjadi perhatian di masa ini adalah participatory. “Untuk itu, kita harus memahami kebiasaan wisatawan. Sebab, kuncinya terletak pada strategi kita menciptakan pengalaman personal bagi wisatawan,” imbuhnya. Upaya ini salah satunya harus didukung oleh sarana IT yang mumpuni.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya berpendapat yang harus menjadi perhatian untuk dapat memulihkan sektor pariwisata adalah CHS, cleanliness, health and safety. “Bali salah satu daerah yang menjadi pilot project CHS,” katanya.
Penerapan SOP CHS ini nantinya diterapkan di PT Pengembangan Pariwisata Indonesia Nusa Dua. Upaya itu akan didukung oleh video kampanye protokol CHS di Bali berdasarkan pengalaman perjalanan wisatawan. Sementara semua pesan kunci mengandung unsur empati. Contoh, “Stay at home now and come visit the most hospitable people in the world tomorrow”. Ia meyakini pendekatan seperti ini akan membuat publik merindukan dan menantikan kembali Bali menjadi tempat wisata yang aman untuk dikunjungi. (rvh)