Krisis kesehatan atau pandemi kadang luput saat PR melakukan pemetaan isu. Tak heran mereka tergagap saat terjadi Covid-19 mewabah. Berbeda dengan PricewaterhouseCoopers Indonesia (PwC).
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Perusahaan yang bergerak di industri akuntansi, jasa profesional, perpajakan, dan konsultansi ini terbilang cukup siap menghadapi pandemi Covid-19. Sedari awal PwC telah memiliki skenario perencanaan.
“Kerangkanya disusun oleh tim global dan terus diperbaharui dari tahun ke tahun,” ujar Daniel Rambeth, Markets Group Director PwC Indonesia, saat menjadi pembicara di diskusi virtual yang diselenggarakan PERHUMAS bertajuk “PR in the Age of Physical Distancing”, Rabu (6/5/2020).
Menurut pria yang juga merupakan Dewan Pakar PERHUMAS itu, dari total 300 ribu karyawan PwC di 175 negara, semuanya ikut berpartisipasi membuat framing crisis communication.
Skenario tersebut memuat tujuh tipe potensi krisis. Pertama, krisis keuangan yang terdiri dari krisis keuangan global, kebangkrutan, penghapusan aset, penipuan/kejahatan keuangan. Kedua, krisis kemanusiaan. Antara lain perang, terorisme, bencana alam, dan pandemi.
Ketiga, krisis hukum. Terdiri dari sanksi, konflik kepentingan, kegagalan kepatuhan, dan tindakan pengaturan. Keempat, krisis human capital meliputi kesenjangan komunikasi, pergantian karyawan yang tinggi, suksesi, pemogokan kerja, dan ancaman internal.
Kelima, krisis reputasi yang berkaitan dengan pemberitaan negatif, asosiasi brand yang merugikan, kehilangan pasar, gangguan komunikasi, serta kesalahan oleh eksekutif. Keenam, krisis teknologi yang meliputi pelanggaran siber, pencurian IP, kegagalan penelitian dan pengembangan, kerusakan teknologi.
Terakhir, krisis operasional. Antara lain, gangguan rantai pasokan, kegagalan infrastruktur, pelanggaran fasilitas, dan penarikan produk.
“Grand Strategy”
Menurut Danrem, begitu Daniel Rambeth akrab disapa, ada tiga grand strategy yang harus dilakukan PR saat bersiap menghadapi krisis. Pertama, menyiapkan atau menginformasikan sebelum krisis terjadi. Meliputi, strategi dan organisasi krisis, analisis SWOT, perencanaan komunikasi krisis, pelatihan wawancara media, pantau media sosial dan media daring, serta pemetaan stakeholders. Tak kalah penting lakukan simulasi, pantau perkembangan krisis, analitik dan teknologi, serta kesiapan ancaman.
Kedua, lindungi atau tanggapi secara cepat dan efektif sejak hari pertama krisis. Mulai dari inventarisasi fakta secara langsung, verifikasi, hingga penilaian. Selanjutnya, lakukan strategi penyampaian pesan, rencana, serta prioritas, dorong narasi selama krisis, petakan komunikasi, manajemen stakeholders, dan lakukan koordinasi komunikasi.
Ia melanjutkan, pantau ancaman secara intelijen dan analisis data-data pendukung. Lakukan pelacakan intelijen media sosial, serta uji respons audiens terhadap informasi yang disebarkan. “Pernyataan pertama dari global ferm adalah keselamatan dan kesehatan tim PwC menjadi prioritas, tetapi kualitas kerja dan cara kita menjalin hubungan dengan klien tidak bisa ditawar,” ujarnya.
Ketiga, fase pemulihan atau bertahan untuk kembali ke bisnis seperti semula. Antara lain, mengimplementasikan strategi pemulihan baik internal maupun eksternal, mengeluarkan komando bahwa kondisi stabil dengan konten dan waktu yang tepat. Fokuskan perhatian dan pesan kepada stakeholders. Selanjutnya, lakukan koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah setempat. Undang inisiatif dari masyarakat, serta jadikan krisis ini sebagai pembelajaran (lesson learned). (ais)