Sejak Coronavirus Disease (Covid-19) menyebar, World Health Organization (WHO) telah memperingatkan bahwa wabah ini bukan sekadar pandemik, tapi juga berpotensi menyebabkan infodemik—informasi berlebihan seputar virus terkait.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Banjir informasi baik itu informasi akurat maupun hoaks memiliki dampak yang sama. Yakni, membuat masyarakat gelisah, bingung menemukan panduan yang benar, serta tidak percaya kepada pemerintah. Akibatnya, mereka cenderung mencari informasi yang memberikan keamanan emosional.
“Infodemik membuat orang semakin haus informasi. Tapi, bukan yang objektif, melainkan informasi yang mengonfirmasi keyakinan dirinya sebelumnya,” ujar Engelbertus Wendratama, peneliti senior PR2Media, saat menjadi pembicara dalam gelar wicara secara daring bertema “Radikalisme dan Hate Speech di Tengah Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan HBM.TV di Jakarta, Kamis (23/4/2020).
Kondisi ini lantas mendorong Wendra melakukan survei yang bertujuan untuk melihat pengalaman warga Indonesia di tengah lautan informasi pandemi Covid-19. Hasilnya, disinformasi terkait Covid-19 paling banyak terjadi di WhatsApp (WA). Bukan di televisi, situs resmi pemerintah, maupun media cetak.
Untuk itu, ia menekankan pentingnya para praktisi humas pemerintah untuk gencar memproduksi konten informasi yang akurat dan menyebarluaskan melalui aplikasi WA. Tidak perlu repot membuat konten video atau file PDF dengan informasi yang terlalu panjang dan berbelit-belit. “Cukup dengan teks sederhana, namun berisi informasi menarik serta akurat,” katanya. Dengan sendirinya, orang tertarik untuk membagikannya ke grup-grup WA.
Prioritas
Sementara itu, menurut CEO dan founder Media Buffet PR & Social Media Marketing Bima Marzuki, di masa pandemi Covid-19, pemerintah tidak lagi memiliki energi dan amunisi yang sama untuk menghadapi krisis komunikasi seperti di masa sebelumnya. Sebab, semuanya telah terfokus pada penanganan Covid-19. Untuk itu, mantan penyiar berita Kompas TV ini menekankan tiga prioritas utama yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Pertama, hindari blunder komunikasi. Perhatikan lalu lintas informasi keluar dan masuk dan upayakan satu pintu. Jika tidak memungkinkan, setidaknya cukup diatur oleh satu pihak untuk menghindari kontradiksi. “Banyaknya blunder terjadi karena semua berbicara dengan egonya masing-masing tanpa berpikir implikasi ke depan,” terangnya.
Kedua, raih kepercayaan publik. Ini penting. Sebab, jika pemerintah tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, mereka akan semakin kesulitan mengontrol rakyatnya apabila suatu ketika terjadi kondisi yang lebih genting dari sekarang. Dan ketiga, konsistensi pesan.
Bima lalu menyodorkan tips menyusun strategi komunikasi di tengah pandemi: mendengar dan menganalisis persepsi publik secara lebih intensif; memantau dan menganalisis konteks pembicaraan di media sosial dan mainstream media; melakukan kontrol terhadap siapa saja yang boleh bicara, apa yang dibicarakan kata per kata berdasarkan analisis, dan kapan waktu yang tepat untuk berbicara; serta, menjaga konsistensi pesan dan transparansi data. (ais)